Konvensi PBB vs UU no.39 tahun 1999
Jadi menurut pendapat saya sendiri setelah
membandingkan antara HAM yang di sepakati oleh PBB dengan UU No.39 tahun 1999
yaitu dalam UU No.39 tahun 1999 sudah mencakup dari keseluruhan dari ke empat
kesepakatan yang di tetapkan oleh PBB seperti hak tentang penyiksaan &
perlakuan kejam , hak anak, perlindungan pekerja migran serta hak diskriminasi
perempuan semuanya tercantum dalam Undang –Undang yang terdapat lebih dari 100
pasal tersebut.
Namun kesepakatan – kesepakatan yang dikeluarkan
oleh PBB juga sangat baik karena spesialisasi tiap konvensi menjadikan kesepakatan
tersebut menjadi lebih kompleks dan lebih spesifik di bandingkan dengan yang
terdapat pada Undang – Undang namun kekurangannya adalah bila anggota komite
tidak setuju dengan kesepakatan tersebut maka konvensi – konvensi tersebut
tidak dapat disetujui. Salah satunya adalah Amerika, dulu Amerika tidak
menyetujui untuk menandatangani Konvensi pelarangan penimbunan ranjau di
karenakan Amerika memproduksi ranjau yang kapasitas nya sangat besar sehingga
bila konvensi tersebut disetujui Amerika akan mendapatkan banyak sekali
kerugian.
Undang – Undang kita sudah mutlak adanya walaupun
masih bisa di hapus maupun di revisi namun pada daftar UU di atas sudah sangat
jelas bahwa Undang – Undang kita sudah cukup kokoh untuk melindungi HAM
walaupun konvensi PBB tersebut tidak ada. Namun itu berlaku pada negara kita
saja dan bebrapa negara lainnya namun pada sebagian negara keputusan –
keputusan PBB tersebut sangat di nantikan untuk kelangsungan negara mereka
serta mendapatkan ketentraman dalam menjalani hidup di negara mereka untuk
melindungi HAM .
Berikut adalah
keterangan mengenai konvensi PBB dan UU No.39 tahun 1999 :
Historisitas dan
Ratifikasi Konvensi Menentang penyiksaan (1984)
Perlindungan terhadap
hak-hak sipil dan politik, khususnya dalam hal perlindungan dari penyiksaan dan
kekejaman yang dilakukan negara, merupakan wacana klasik dalam terminologi HAM.
Sebelum masa 1975, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) selalu mendasarkan argumen
bahwa Deklarasi Universal mengenai HAM (Universal Declaration of Human Right)
telah mencukupi untuk dilakukannya upaya-upaya perlindungan, terutama dalam
Pasal 5 yang menyatakan bahwa “Tidak ada orang yang menjadi sasaran penyiksaan
atau kekejaman, tidak manusiawi atau Perlakuan atau Penghukuman yang
Merendahkan Martabat Manusia” (No one shall be subjected to torture or
cruel, inhuman or degrading treatment or punishment).
Ternyata disadari bahwa ketentuan tersebut tidak cukup melindungi masyarakat dari penyiksaan yang dilakukan oleh negara. Hak untuk bebas dari penyiksaan adalah hak aksiomatik manusia, dimana hak tersebut dianugerahkan Tuhan kepada manusia sejak lahir dan tidak ada pihak lain yang berhak atau berwenang menguranginya (non-derogable right).
Ternyata disadari bahwa ketentuan tersebut tidak cukup melindungi masyarakat dari penyiksaan yang dilakukan oleh negara. Hak untuk bebas dari penyiksaan adalah hak aksiomatik manusia, dimana hak tersebut dianugerahkan Tuhan kepada manusia sejak lahir dan tidak ada pihak lain yang berhak atau berwenang menguranginya (non-derogable right).
Dengan asumsi tersebut, Majelis Umum PBB pada tanggal 9 Desember 1975 menghasilkan suatu “Deklarasi tentang Perlindungan terhadap Setiap Orang dari Penyiksaan dan Kekejaman Lainnya, Tidak Manusiawi atau Perlakuan atau Penghukuman yang Merendahkan Martabat Manusia” (Declaration on the Protection of all Person from Being Subjected to Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment).
Dalam kenyataannya, instrumen PBB ini tidak mempunyai kekuatan yang mengikat secara hukum. Dengan kata lain, Deklarasi sebagai sebuah instrumen yang dikeluarkan PBB tidak mempunyai daya ikat secara yuridis bagi para anggotanya karena memang pada dasarnya deklarasi ini dikeluarkan berfungsi tidak lebih dari sekedarPengumuman Resmi. Maka pada tanggal 10 Desember 1984, dalam putaran sidang Majelis Umum PBB diadakan konsensus terhadap rancangan Konvensi Menentang Penyiksaan yang pada akhirnya berlaku efektif per 26 Juni 1987.
Satu hal yang menarik bahwa Indonesia telah menandatangani Konvensi Menentang Penyiksaan ini pada tanggal 23 Oktober 1985. Tetapi entah apapun alasannya, pemerintah saat itu tidak serta merta meratifikasinya dalam undang-undang. Selama bertahun-tahun penandatangan konvensi tersebut tidak diefektifasi sehingga dianggap tidak mengikat Indonesia untuk mengimplementasikannya. Asumsi ini sedikit banyak mengandung kontradiksi karena menurut pendapat hukum, hak manusia untuk terbebas dari penyiksaan termasuk pada kategori ius cogens, norma yang telah dianggap aksioma oleh komunitas internasional, tidak dapat dicabut dan tidak mempunyai perkecualian ataupun waiver.
Pendapat tersebut tampaknya telah diabaikan oleh pemerintah orde baru. Kuatnya dominasi terhadap masyarakat, menjadikan pemerintah seolah-olah lembaga yang superordinat terhadap lembaga lain. Sebagaimana diketahui, pada periode 1980-an pemerintah nyaris tidak mempunyai lembaga yang beroposisi binner secara hukum terhadapnya. Adalah sangat biasa dikemukakan pada saat itu bahwa lembaga internasional tidak dapat melakukan intervensi terhadap persoalan-persoalan internal. Bahkan terhadap kasus yang memiliki dimensi internasional pun, misalnya terhadap separatisme, negara selalu mempersepsikan bahwa hal tersebut adalah persoalan internal.
Persepsi-persepsi negara ini pada saatnya mengalami kejenuhan hingga jatuhnya kekuasaan pemerintahan orde baru. Akumulasi kekecewaan dan sejarah penindasan masyarakat dalam skala yang sangat tinggi telah memaksa kejatuhan pemerintah dan digantikan oleh pemerintah yang cenderung akomodatif.
Tuntutan masyarakat atas hak-hak sipil dan politik serta heterogenitas persoalan yang terjadi di Indonesia, menuntut negara untuk lebih bertanggung jawab dalam pemajuan dan perlindungan HAM. DPR RI, sebagai lembaga yang mempunyai hak inisiatif, telah mengajukan usul Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau merendahkan Martabat Manusia. Pada akhirnya Konvensi Menentang Penyiksaan ini diratifikasi pada tanggal 28 September 1998 menjadi Undang-Undang No.5 Tahun 1998.
Sebagai sebuah realitas hukum, ratifikasi tersebut membebankan tanggung jawab kepada negara, sebagai Negara Pihak, untuk menjadikan dan memperlakukan instrumen hukum internasional sebagai hukum positif. Dengan demikian berarti, negara juga bertanggung jawab terhadap efektifitas hukum tersebut dan tidak ada alasan lain kecuali mengimplementasikannya dalam tataran empiris.
Substansi Konvensi dan Impelementasinya di Indonesia
Konvensi menentang
Penyiksaan dibagi ke dalam 3 Bab dan 33 Pasal. Bab I (Pasal 1 s.d. 16) memuat
ketentuan yang mengatur mengenai definisi-definisi dan kewajiban Negara Pihak
untuk mencegah dan melarang terjadinya penyiksaan dan pelakuan atau penghukuman
lain yang sifatnya kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia.
Dalam Pasal 1 Konvensi disebutkan bahwa Penyiksaan adalah segala tindakan yang
menimbulkan kesakitan atau penderitaan yang hebat baik jasmani maupun rohani
secara terus menerus pada seseorang untuk tujuan-tujuan tertentu seperti
mendapatkan informasi atau pengakuan dari seseorang yang bersangkutan atau
pihak ketiga, menghukumnya atas perbuatan yang telah dilakukan atau diduga
telah dilakukan seseorang tersebut atau pihak ketiga atau mengintimidasi atau
memaksa seseorang tersebut atau pihak ketiga, atau untuk alasan apapun yang
didasarkan pada segala jenis diskriminasi apabila kesakitan atau
penderitaan yang hebat tersebut ditimpakan oleh, atau atas hasutan, atau dengan
persetujuan, atau dibiarkan oleh seorang pejabat atau aparat pemerintahan.
Berdasarkan bunyi Pasal 1 di atas, jelaslah bahwa ruang lingkup pihak yang dibebani tanggung jawab menurut Konvensi ini adalah pejabat atau aparat pemerintahan, sebagai pihak yang memegang kekuasaan secara formal. A contrario, pihak-pihak yang bukan pejabat atau aparat pemerintahan (warga sipil) yang mengakibatkan penyiksaan atau penderitaan kepada orang lain bukanlah pihak yang dibebani tanggung jawab menurut konvensi ini.
Ketentuan tersebut adalah logis karena setiap tindakan penyiksaan atau yang mengakibatkan penderitaan kepada orang lain, dapat dikategorikan sebagai tindak pidana (ordinary crimes) yang secara yuridis telah tercakup sebagai delik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam prakteknya, ketentuan tersebut akan cukup menyulitkan karena bagi aparat pemerintahan yang melakukan tindakan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Konvensi, berlaku dua norma, yakni (i) hukum internasional sebagaimana ditentukan dalam Konvensi Menentang Penyiksaan; dan (ii) KUHP. Pertanyaannya, Hukum apa yang berlaku bagi tindak kejahatan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat pemerintahan, Konvensi Menentang Penyiksaan ataukah KUHP? Dan sampai saat ini belum pernah ada aparat pemerintahan yang dihukum menurut ketentuan dalam konvensi tersebut.
Kesulitan lainnya adalah mengenai prinsip personalitas yang dianut oleh KUHP vide Pasal 5 KUHP dimana pada intinya menyebutkan bahwa KUHP berlaku bagi Warga negara Indonesia (WNI) yang melakukan tindak pidana di luar wilayah Indonesia atau bagi Warga Negara Asing (WNA) yang setelah melakukan tindak pidana di luar wilayah Indonesia mengganti kewarganegaraannya menjadi WNI.
Ketentuan ini jelas akan menyulitkan bagi dilaksanakannya Konvensi, khususnya apabila terdapat aparat pemerintahan Republik Indonesia yang melakukan tindakan penyiksaan di luar negeri.
Hal lainnya yang cukup menyulitkan adalah mengenai “Penyertaan” (Declaration) negara terhadap Pasal 20 Konvensi (tercakup dalam Bab II Konvensi yang mengatur mengenai Komite Menentang Penyiksaan dan tugas serta kewenangannya dalam melakukan pemantauan atas pelaksanaan Konvensi). Dalam Pasal 4 jo. Penjelasan UU No.5 Tahun 1998 jo. Lampirannya disebutkan bahwa Ketentuan Pasal 20 ayat (1), (2) dan (3) Konvensi akan dilaksanakan dengan memenuhi prinsip-prinsip kedaulatan dan keutuhan wilayah suatu Negara. Walaupun dinyatakan bahwa “Penyertaan” ini tidak mengikat secara hukum, namun tetap saja bahwa hal tersebut mengandung perkecualian secara halus (eufimisme). Klausul yang menyebutkan mengenai kedaulatan dan keutuhan wilayahmempunyai makna heterogen, dan sulit dijabarkan. Secara implisit berarti bahwa apabila Konvensi ini melanggar kedaulatan nasional dan keutuhan wilayah maka Negara Pihak tidak berkewajiban melaksanakan materi Konvensi tersebut.
Selanjutnya adalah mengenai “Persyaratan” (Reservation) Indonesia terhadap Pasal 30 ayat (1) Konvensi (tercakup dalam Bab III yang mengatur mengenai hal-hal yang berkaitan dengan mulai efektifnya Konvensi, perubahan, persyaratan, ratifikasi, aksesi, pengunduran diri serta mekanisme penyelesaian perselisihan antar negara pihak). “Persyaratan” ini diajukan dengan alasan bahwa Indonesia tidak menganut asas yurisdiksi yang mengikat secara otomatis (compulsory jurisdiction) dari Mahkamah Internasional (International Court of Justice). Artinya Indonesia hanya akan terikat pada pengajuan penyelesaian suatu perselisihan di antara Negara Pihak kepada Mahkamah Internasional apabila terdapat pengakuan secara yuridis --artinya perlu perangkat hukum tersendiri untuk mengaturnya berdasarkan kesepakatan para pihak-- bahwa Mahkamah Internasional tersebut mengikat bagi Indonesia. Dengan demikian berarti tanpa adanya kesepakatan maka tidak mungkin dilakukan penyidikan internasional (international inquiry).
Dalam hal lain yang patut diefektifkan adalah keberadaannya Komite Anti Penyiksaan yang akan mengawasi jalannya pelaksanaan Konvensi vide Pasal 17 Konvensi. Secara prosedural disebutkan bahwa setiap Negara Pihak --melalui Sekjen PBB-- wajib menyerahkan laporan mengenai langkah-langkah yang diambil oleh Negara Pihak yang bersangkutan untuk mewujudkan upaya-upayanya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Konvensi.
Apabila Indonesia, sebagai Negara Pihak, konsisten menjalankan prosedur-prosedur yang tertuang dalam Konvensi maka niscaya di sana-sini banyak terdapat perubahan atau amandemen terhadap peraturan perundang-undangan yang banyak mengundang protes karena dianggap melanggar HAM. Kenyataannya, setelah tiga tahun sejak ratifikasi Konvensi tersebut, hukum-hukum yang secara signifikan dianggap mengandung pelanggaran HAM hanya sedikit yang diubah atau diamandemen; tidak termasuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang di dalamnya tidak menyebutkan sanksi terhadap aparat pemerintah, khususnya penyidik, yang melakukan penyiksaan dalam proses penyidikannya.
Hak
Anak (1989)
Konvensi Hak Anak (KHA)
Perserikatan Bangsa-Bangsa 1989 merupakan perjanjian yang mengikat secara
yuridis dan politis di antara berbagai Negara yang mengatur hal-hal yang
berhubungan dengan hak anak. Hak anak yang dimaksud adalah hak asasi manusia
untuk anak.
Indonesia meratifikasi
KHA dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 pada tanggal 25 Agustus 1990.
Meskipun demikian, Indonesia tidak menerima seluruh Pasal KHA (total 54
Pasal). Tujuh Pasal kunci yang direservasi oleh Indonesia, yaitu Pasal 1
(Definisi), Pasal 14 (hak anak atas kemerdekaan berpikir, berkeyakinan dan
beragama), Pasal 16 (hak privasi), Pasal 17 (hak anak mendapatkan informasi
layak anak), Pasal 21 (Adopsi), Pasal 22 (Pengungsi Anak), dan Pasal 29 (tujuan
pendidikan). Ketujuh Pasal ini ditarik oleh Indonesia (Hasan
Wirayuda/Menlu Kabinet Indonesia Bersatu Pertama/Kabinet SBY-JK) pada tanggal
11 Januari 2005.
Dengan diratifikasinya KHA
oleh Indonesia, telah memberi warna pada berbagai kebijakan dan ketentuan
terkait dengan anak. Pertama, Adanya penambahan Pasal 28B ayat
(2) pada Undang-Undang Dasar 1945 pada Amandemen Kedua, yaitu “Setiap anak
berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak
atas perlindungan anak dari kekerasan dan diskriminasi.” Kedua, Presiden RepublikIndonesia
bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengesahkan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang inilah secara
keseluruhan menjamin, menghargai, dan melindungi hak anak. Ketiga,Pemerintah
Indonesia membentuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,
sebagai lembaga koordinasi dan advokasi perlindungan anak di Indonesia.
Kementerian ini bertugas menyusun Rencana Aksi Nasional Pembangunan
di Bidang Anak. Dan terakhir,Indonesia membentuk Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sebagai lembaga independen untuk menjamin,
menghargai, dan melindungi hak-hak anak sebagaimana yang diatur dalam ketentuan
dan prinsip dasar KHA. Lembaga ini secara bersama-sama bekerjasama dengan
Komisi Hak Asasi Manusia dan Komisi Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan
Terburuk Anak dalam rangka menjamin, menghargai, dan melindungi hak anak,
khususnya anak yang terlibat dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak, seperti
anak yang bekerja di Jermal, Pertambangan, Pabrik Sepatu, Prostitusi, dan
eksploitasi seksual anak.
Komite Hak Anak Perserikatan
Bangsa-Bangsa mendorong setiap Negara yang telah meratifikasi KHA
untuk mentransformasikan dari bahasa hukum ke dalam kebijakan,
strategi, tujuan, dan program. Supaya setiap Negara memahami ketentuan dan
prinsip dasar dalam KHA, Komite Hak Anak mengelompokkan Pasal-Pasal dalam KHA
menjadi delapan kelompok atau klaster.
Delapan klaster KHA yang
dimaksud: Pertama, Langkah pelaksanaan umum. Klaster ini
berisikan ketentuan yang tertuang dalam Pasal 4, 42, dan 44. Pada klaster
pertama ini Negara yang telah meratifikasi KHA diminta untuk memastikan hak-hak
anak terpenuhi melalui kebijakan dan program yang terdesentralisasi di setiap
daerah otonom yang tertuang dalam Rencana Aksi Nasional Pembangunan di Bidang
Anak. Ketentuan lain adalah, Komite berharap KHA didesiminasikan kepada anak,
orang tua, masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah. Selain itu, Negara atau
Pemerintah memastikan adanya pelatihan kepada para profesional yang
bekerja dengan atau untuk anak pada layanan kesehatan, pendidikan, sosial,
dan penegakan hukum.
Kedua, definsi.
Berdasarkan ketentuan KHA, yang dimaksud dengan anak adalah “Seorang anak
berarti setiap manusia di bawah usia 18 tahun, kecuali apabila menurut hukum
yang berlaku bagi anak tersebut ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal
(Pasal 1 KHA).” Pasal 1 KHA ini merupakan salah satu Pasal yang direservasi
oleh Indonesia pada tahun 1990, namun ditarik pada tanggal 11 Januari 2005.
Artinya, Indonesia secara sah mengakui definisi anak sebagaimana yang
tertuang dalam ketentuan Pasal 1 KHA sejak 12 Januari 2005. Meskipun demikian,
definisi anak yang ada selama ini masih terdapat perbedaan batasan usia anak
dibeberapa ketentuan peraturan perundang-undangan. Definisi pekerja anak adalah
15 tahun (UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan); Definisi Anak dapat
dituntut di depan hukum adalah 12 tahun (UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak); dan lain-lain.
Ketiga,
Prinsip-prinsip Umum KHA. Pasal KHA yang mengatur prinsip-prinsip KHA adalah
Pasal 2, 3, 6, dan 12. Terdapat empat prinsip KHA yang menjadi dasar
pertimbangan pada setiap penyusun kebijakan dan program. Keempat prinsip
dimaksud adalah, non-diskriminasi (Pasal 2), kepentingan terbaik bagi anak
(Pasal 3), hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan (Pasal 6), dan
penghargaan terhadap pandangan anak (Pasal 12).
Keempat, Hak
Sipil dan Kebebasan. Ketentuan KHA yang tertuang dalam klaster ke-4 ini adalah
ahak anak untuk pencatatan kelahiran, nama, kebangsaan, dan hak mengetahui dai
diasuh oleh orang tua. Ketentuan lainnya adalah hak anak atas identitas,
kebebasan berekspresi, kebebasan berfikir, berkeyakinan, dan beragama. Hak anak
atas kebebasan berorganisasi dan berkumpul secara damai. Hak anak atas privasi,
mengakses informasi yang layak, dan perlindungan dari penyiksaan, perlakuan
merendahkan, dan pencabutan kebebasan.
Kelima, Lingkungan
Keluarga dan Pengasuhan Alternatif. Ada 10 Pasal KHA yang mengatur tentang hak
anak atas lingkungan keluarga dan pengasuhan. Pada klaster ini, anak memiliki
hak atas bimbingan orang tua dan kemampuan anak selalu berkembang. Orang tua
bertanggung jawab atas pengasuhan anaknya dalam lingkungan keluarga. Ketentuan
KHA dalam klaster kelima ini adalah mengutamakan keluarga sebagai pengasuh
utama, untuk itu, pemerintah berkewajiban untuk melakukan pelatihan pengasuhan
anak. Ketentuan lain, anak yang tidak memiliki pengasuh, diutamakan untuk
diasuh oleh keluarga besar, sedangkan panti asuhan hanyalah sebagai alternatif
terakhir. KHA juga memastikan Negara untuk melakukan pemantauan dan mereview
secara berkala terhadap anak yang terpaksa tinggal di panti asuhan atau Lembaga
Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA).
Keenam, Disabilitas,
Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan. Hak anak atas kesehatan dan layanan
kesehatan, hak atas jaminan sosial, dan hak atas standar hidup yang layak. Hak
anak lainnya adalah hak anak disabilitas. Poin penting dari klaster ini lebih
difokuskan kepada pencegahan untuk terjadinya anak disabilitas. Negara
memastikan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan reproduksi
dan mental remaja.
Ketujuh, Pendidikan,
Pemanfaatan Waktu Luang, dan Kegiatan Budaya. Poin penting dalam klaster ke-7
adalah memastikan hak anak atas pendidikan, beristirahat, berekreasi, dan
kegiatan budaya dan seni. Anak-anak memiliki hak atas pendidikan dasar
se-gratis, aman dan nyaman di sekolah, bebas dari kekerasan, dan yang
terpenting adalah penegakan disiplin dengan non-kekerasan. Anak juga aktif
terlibat dalam kegiatan budaya dan seni, sehingga mereka dapat mewarisi tradisi
adat setempat yang mengandung nilai positif lainnya.
Terakhir atau Kedelapan,
Perlindungan Khusus. Ketentuan KHA dalam klaster terakhir ini adalah hak anak
di daerah pengungsi, hak anak yang berkonflik dengan hukum, hak anak atas
perlindungan dari eksploitasi seksual, pornografi, dan prostitusi anak, serta
hak anak dari pribumi dan minoritas.
Upaya untuk melaksanakan
ketentuan dan prinsip dasar dalam KHA, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan mengembangkan “Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak.” Yaitu
pengintegrasian komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat, dan dunia
usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan,
program, dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak anak.
10 Hak
Anak Indonesia
(Berdasarkan Konvensi Hak Anak PBB tahun 1989)
(Berdasarkan Konvensi Hak Anak PBB tahun 1989)
- Hak untuk
BERMAIN
- Hak untuk
mendapatkan PENDIDIKAN
- Hak untuk
mendapatkan PERLINDUNGAN
- Hak untuk
mendapatkan NAMA (identitas)
- Hak untuk
mendapatkan status KEBANGSAAN
- Hak untuk
mendapatkan MAKANAN
- Hak untuk
mendapatkan akses KESEHATAN
- Hak untuk
mendapatkan REKREASI
- Hak untuk
mendapatkan KESAMAAN
- Hak untuk
memiliki PERAN dalam PEMBANGUNAN
Pada tanggal 12 April 2012
Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB Tahun 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran
dan Anggota Keluarganya,(selanjutnya disebut Konvensi Pekerja Migran). Konvensi
ini pertama kali dideklarasikan di New York pada tanggal 18 Desember 1990 dan
diberlakukan sebagai hukum internasional pada tanggal 1 Juli 2003. Indonesia telah
menandatangani Konvensi ini pada tanggal 22 September 2004. Negara yang telah
meratifikasi Konvensi ini baru 35 negara
dan di wilayah ASEAN baru Philipina dan Indonesia. Indonesia sebagai salah satu
negara pengirim tenaga kerja terbesar ke luar negeri sudah selayaknya
meratifikasi Konvensi ini, meskipun negara-negara tujuan penempatan pekerja
migran Indonesia belum ada yang meratifikasi, misalnya Malaysia dan Arab Saudi.
Ratifikasi Konvensi ini sangat penting karena dapat menunjukkan pada dunia internasioal
tentang komitmen suatu negara dalam melakukan perlindungan bagi pekerjanya yang
bekerja di luar negeri.
Di sisi lain, dengan meratifikasi Konvensi berarti Pemerintah berkewajiban untuk
memberikan peluang dan kesempatan yang sama bagi tenaga kerja asing/pekerja
migran dan anggota keluarganya yang bekerja di Indonesia termasuk apabila
mereka terkena PHK dan berkewajiban untuk memberikan tunjangan pengangguran. Konvensi ini juga
mengatur permasalahan minimnya standar
perlindungan hak-hak sipil, ekonomi, sosial dan budaya pekerja migran dan anggota
keluarganya. Oleh karena itu Konvensi ini sebagai langkah awal besar guna
perbaikan menyeluruh tentang penyelenggaraan perlindungan pekerja migran.
Konvensi ini
mengatur beberapa hal penting, seperti:
1.
Mengatur mengenai standar minimum perlindungan hak-hak sipil,
politik, ekonomi, sosial dan budaya seluruh pekerja migran dan anggota
keluarganya. Konvensi ini mendorong negara agar menyelaraskan
perundang-undangannya dengan standar universal yang termaktub dalam Konvensi.
2.
Mengakui adanya kontribusi yang disumbangkan oleh pekerja migran
terhadap ekonomi dan masyarakat negara tempat mereka bekerja serta pembangunan
negara asal mereka.
3.
Mencantumkan serangkaian standar untuk perlindungan pekerja migran
dan kewajiban negara yang terkait, meliputi negara asal, transit dan negara
tempat bekerja.
4.
Mencegah dan menghapuskan eksploitasi seluruh pekerja migran dan
anggota keluarganya di seluruh proses migrasi, termasuk mencegah terjadinya
perdagangan manusia.
5.
Konvensi ini tidak hanya melindungi para pekerja migran, tapi juga
melindungi kepentingan negara penerima pekerja migran terkait dengan pembatasan
akses kategori pekerjaan guna melindungi warga negaranya.
Dengan telah diratifikasinya
Konvensi Pekerja Migran, maka Pemerintah harus segera
mengambil langkah-langkah harmonisasi peraturan perundang-undangan terkait
penyelenggaraan perlindungan bagi pekerja migran. Oleh karena itu, Konvensi ini harus dijadikan dasar
acuan melakukan revisi Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia yang Bekerja di Luar Negeri.
Melalui Konvensi ini,
Indonesia dapat memainkan diplomasinya dan meningkatkan posisi tawar untuk
mendorong negara-negara penerima agar lebih menghormati aturan Konvensi. Untuk
harmonisasi peraturan perundang-undangan terkait dengan penyelenggaraan
perlindungan pekerja migran, Pemerintah selain perlu melakukan revisi
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Kerja yang Bekerja di Luar Negeri, juga perlu mengevaluasi 13 MOU yang selama
ini sudah ditandatangani dengan negara penerima, terutama yang belum selaras dan
masih banyak kelemahan-kelemahan dalam hal perlindungan HAM bagi pekerja
migran.
Dalam memberikan pelayanan
kepada pekerja migran Pemerintah harus mengacu Konvensi ini, sehingga tidak ada
lagi kasus-kasus seperti penelantaran atau pemalsuan dokumen untuk pekerja
migran. Jika selama ini pengaturan dan hukuman kepada pekerja migran bermasalah
masih lemah, nantinya melalui Konvensi ini harus dijadikan momen penegakkan
hukum bagi pelaku pelanggaran Pekerja Migran.
Indonesia Ratifikasi Konvensi
Pelarangan Ranjau Darat Anti Personel (1997)
Ratifikasi
ini tidak menimbulkan kerugian bagi Indonesia. Sebaliknya, ratifikasi ini dapat
dijadikan modal untuk menggalang kekuatan internasional untuk menjalankan
perlindungan pekerja migran Indonesia di luar negeri. Dan, seperti kita ketahui
bahwa sebagian besar pekerja migran kita adalah perempuan, dan sebagian besar
yang bermasalah adalah juga perempuan.
Untuk itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak peduli!
No. 92/PR/XI/2006. Dewan
Perwakilan Rakyat pada tanggal 28 November 2006 menyetujui Rancangan
Undang-Undang tentang Pengesahan Konvensi tentang Pelarangan Penggunaan,
Penimbunan, Produksi, dan Transfer Ranjau Darat Anti-Personil dan Pemusnahannya
(Convention on the Prohibition of the Use, Stockpiling, Production, and
Transfer of Anti-Personnel Mines and on Their Destruction).
Persetujuan tersebut ditandatangani oleh fraksi-fraksi di Komisi I DPR dan
Pemerintah pada rapat kerja yang dihadiri oleh Menteri Pertahanan dan
Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Departemen
Luar Negeri.
Konvensi Pelarangan Ranjau Darat Anti Personil atau sering disebut juga sebagai Ottawa Convention ditandatangani bulan Desember 1997 di Ottawa, Kanada. Indonesia merupakan salah satu negara pertama yang ikut menjadi negara penandatangan pada tangal 4 Desember 1997. Saat ini telah ada sejumlah 151 negara yang menjadi pihak pada Konvensi.
Ratifikasi Konvensi oleh Indonesia menunjukkan bahwa sebagai bangsa cinta damai, Indonesia menyepakati nilai-nilai kemanusiaan dan tujuan yang terkandung dalam Konvensi yaitu mengakhiri penderitaan yang diakibatkan ranjau darat anti-personel serta ikut dalam upaya memajukan ketertiban dan perdamaian dunia. Indonesia wajib melaksanakan konvensi ini enam bulan sejak meratifikasinya.
Korban ranjau darat antipersonel umumnya adalah penduduk sipil, wanita, dan anak-anak. Sebagian besar kehilangan anggota tubuh; kaki atau lengan dan menjadi cacat seumur hidup. Akibat penggunaan ranjau darat antipersonel sebagai alat perang tidak berhenti setelah perang usai, ranjau darat akan tetap aktif bertahun-tahun setelah perang usai selain menimbulkan korban jiwa, cacat, dan mengakibatkan kerugian ekonomi karena lahan yang tidak dapat diolah rakyat. Pembersihan ranjau darat yang telah ditanam, merupakan pekerjaan sulit, memerlukan tenaga ahli terampil, membutuhkan ongkos yang mahal, dan memerlukan waktu yang lama. Oleh karenanya, tekad untuk tidak menggunakan ranjau darat antipersonil merupakan implementasi dari sebuah sikap yang bertanggung jawab tidak saja bagi rakyat dan bangsa Indonesia sendiri tapi juga bagi masyarakat dunia. (Dit-KIPS)
KONVENSI TENTANG PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI TERHADAP
PEREMPUAN
Negara-negara peserta pada Konvensi yang sekarang
lni,
Memperhatikan bahwa Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa menguatkan lagi keyakinan atas hak-hak azasi manusia, atas
martabat dan nilai pribadi manusia, dan atas persamaan hak antara laki-laki
dan perempuan.
Memperhatikan bahwa Deklarasi Universal tentang
Hak-Hak Azasi Manusia menegaskan azas mengenai tidak dapat diterimanya
diskriminasi dan menyatakan bahwa semua manusia dilahirkan bebas dan sama dalam
martabat dan hak, dan bahwa tiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang
dimuat di dalamnya, tanpa perbedaan apapun, termasuk perbedaan berdasarkan
jenis kelamin.
Memperhatikan bahwa Negara-negara peserta pada
perjanjian-perjanjian Internasional mengenai Hak-hak Azasi Manusia berkewajiban
untukmenjamin hak yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati
semua hak ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik.
Mempertimbangkan konvensi-konvensi internasional
yang ditanda tangani di bawah naungan Perserikatan Bangsa Bangsa dan
badan-badan khususnya, yang menganjurkan persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan.
Memperhatikan juga resolusi-resolusi,
deklarasi-deklarasi dan rekomendasi-rekomendasi yang disetujui oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan badan-badan khususnya yang menganjurkan
persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, namun demikian sangat
memprihatinkan bahwa meskipun adanya bermacam-macarn dokumen tersebut, namun
diskriminasi yang luas terhadap perempuan masih tetap ada,
Mengingat, bahwa diskriminasi terhadap perempuan
adalah melanggar azas persamaan hak dan rasa hormat terhadap martabat manusia,
merupakan halangan bagi partisipasi perempuan, atas dasar persamaan
dengan kaum laki-laki dalam kehidupan politik,
sosial, ekonomi dan budaya negara-negara mereka. Hal ini menghambat
perkembangan kemakmuran masyarakat-dan menambah sukarnya perkembangan
sepenuhnya dari potensi kaum perempuan dalam pengabdiannya terhadap negara-negara
mereka dan terhadap umat manusia,
Memprihatinkan bahwa dalam situasi-situasi
kemiskinan, perempuan yang paling sedikit mendapat kesempatan untuk memperoleh
makanan, pemeliharaan kesehatan, pendidikan, pelatihan, maupun untuk memperoleh
kesempatan kerja dan lain-lain kebutuhan Yakin bahwa dengan terbentuknya tata
ekonomi internasional yang baru, berdasarkan pemerataan dan keadilan, akan
memberi sumbangan yang berarti terhadap peningkatan persamaan antara laki-laki
dan perempuan,
Menekankan bahwa penghapusan apartheid, penghapusan
semua bentuk rasisme, diskriminasi rasial, kolonialisme, neo-kolonialisme,
agresi, pendudukan dan dominasi serta campur tangan asing dalam urusan
dalam negeri Negara adalah penting, untuk dapat menikmati
sepenuhnya hak-hak laki-laki dan perempuan.
Menegaskan bahwa memperkuat perdamaian dan keamanan
internasional, pengendoran ketegangan internasional, kerjasama timbal-balik di
antara semua negara, teriepas dari sistem sosial dan ekonomi
mereka, periucutan senjata secara umum dan menyeluruh, dan khususnya periucutan
senjata nuklir di bawah pengawasan internasional yang ketat dan efektif,
penegasan azas-azas keadilan, persamaan dan manfaat bersama dalam hubungan
antar negara, realisasi hak bangsa-bangsa yang berada di bawah dominasi asing,
dominasi kolonial pendudukan asing untuk menentukan nasib sendiri dan
kemerdekaannya,
maupun menghormati kedaulatan nasional dan
keutuhan wilayah, akan meningkatkan kemajuan sosial dan pembangunan, yang
dampaknya akan menunjang tercapainya persamaan sepenuhnya antara laki-laki dan
perempuan, Yakin bahwa pembangunan menyeluruh dan selengkapnya suatu negara,
kesejahteraan dunia dan usaha perdamaian menghendaki partisipasi maksimal kaum
perempuan atas dasar persamaan dengan kaum laki-laki di segala lapangan,
Mengingatkan kembali sumbangan besar kaum perempuan
terhadap kesejahteraan keluarga dan pembangunan masyarakat yang selama ini belum
sepenuhnya diakui, arti sosial darl kehamilan, dan peranan kedua orang tua
dalam keluarga dalam membesarkan anak-anak, dan menyadari bahwa peranan
perempuan dalam memperoleh keturunan hendaknya jangan menjadi dasar
diskriminasi, akan tetapi bahwa membesarkan anak-anak menghendaki pembagian
tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan dan masyarakat sebagai
keseluruhan.
Menyadari bahwa diperlukan perubahan pada peranan
tradisional kaum laki-laki maupun peranan kaum perempuan dalam masyarakat dan
dalam keluarga, untuk mencapai persamaan sepenuhnya antara laki-laki dan
perempuan,
Bertekad untuk melaksanakan azas-azas yang tercantum
dalam Deklarasi mengenai Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan, dan untuk
itu membuat peraturan yang diperlukan untuk menghapus diskriminasi seperti itu
dalam segala bentuk dan perwujudannya,
Telah bersepakat mengenal hal-hal sebagal berikut:
BAGIAN I
Pasal 1
Untuk tujuan Konvensi yang sekarang ini, istilah
“diskriminasi terhadap perempuan”
berarti setiap pembedaan, pengucilan atau
pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau
tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan
hak-hak azasi manusia dan kebebasankebebasan pokok di bidang politik, ekonomi,
sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari
status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.
Pasal 2
Negara-negara peserta mengutuk diskriminasi
terhadap perempuan dalam segala bentuknya dan bersepakat untuk menjalankan
dengan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda, kebijaksanaan menghapus
diskriminasi terhadap perempuan, dan untuk tujuan ini berusaha :
a) Mencantumkan azas persamaan antara laki-laki dan
perempuan dalam Undang Undang Dasar nasional mereka atau perundang-undangan
yang tepat lainnya jika belum termasuk di dalamnya, dan untuk menjamin
realisasi praktis dari azas ini, melalui hukum dan cara-cara lain yang tepat ;
b) Membuat peraturan perundang-undangan yang tepat
dan peraturanperaturan lainnya termasuk sanksi-sanksinya di mana perlu,
melarang semua diskriminasi terhadap perempuan;
c) Menegakkan perlindungan hukum terhadap hak-hak
perempuan atas dasar yang sama dengan kaum laki-laki dan untuk menjamin melalui
pengadilan nasional yang kompeten dan badan-badan pemerintah lainnya,
perlindungan kaum perempuan yang efektif terhadap setiap tindakan diskriminasi
;
d) Tidak melakukan suatu tindakan atau praktek
diskriminasi terhadap perempuan, dan untuk menjamin bahwa pejabat-pejabat
pemerintah dan lembaga-lembaga negara akan bertindak sesuai dengan kewajiban
tersebut;
e) Membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk
menghapus perlakukan diskriminasi terhadap perempuan oleh tiap orang,
organisasi atau perusahaan;
f) Membuat peraturan-peraturan yang tepat, termasuk
pembuatan undang-undang, untuk mengubah dan menghapuskan undang-undang,
peraturan-peraturan, keblasaan-kebiasaan dan praktek-praktek yang diskriminatif
terhadap perempuan;
g) Mencabut semua ketentuan pidana nasional yang
diskriminatif terhadap perempuan.
Pasal 3
Negara-negara peserta membuat peraturan-peraturan
yang tepat, termasuk pembuatan undang-undang di semua bidang, khususnya di
bidang politik, sosial, ekonomi dan
budaya, untuk meniamin perkembangan dan kemajuan
perempuan sepenuhnya, dengan tuiuan untuk menjamin mereka melaksanakan dan
menikmati hak-hak azasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok atas dasar
persamaan dengan laki-laki.
Pasal 4
1. Pembuatan peraturan-peraturan khusus sementara
oleh Negara-negara peserta yang ditujukan untuk mempercepat persamaan de facto
antara laki-laki dan perempuan, tidak dianggap diskriminasi seperti ditegaskan
dalam Konvensi ini dan sama sekali tidak harus membawa konsekuensi pemeliharaan
norma-norma yang tak sama atau terpisah, maka peraturan-peraturan ini
dihentikan jika tujuan persamaan kesempatan dan perlakuan telah tercapai.
2. Pembuatan peraturan-peraturan khusus oleh
negara-negara peserta, termasuk peraturan-peraturan yang dimuat dalam Konvensi
yang sekarang ini, yang ditujukan untuk melindungi kehamilan, tidak dianggap
diskriminasi.
Pasal 5
Negara-negara peserta wajib membuat
peraturan-peraturan yang tepat;
(a) untuk mengubah pola tingkah laku sosial dan
budaya laki-laki dan perempuan dengan maksud untuk mencapal penghapusan
prasangka-prasangka, kebiasaan-kebiasaan dan segala praktek lainnya yang
berdasarkan atas inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin atau
berdasar peranan stereotip bagi laki-laki dan perempuan;
(b) untuk menjamin bahwa pendidikan keluarga
melalui pengertian yang tepat mengenai kehamilan sebagai fungsi sosial dan
pengakuan tanggung jawab bersama laki-laki dan perempuan dalam membesarkan
anak-anak mereka, seyogyanyalah bahwa kepentingan anak-anak adalah pertimbangan
utama dalam segala hal.
Pasal 6
Negara-negara peserta wajib membuat
peraturan-peraturan yang tepat, termasuk pembuatan undang-undang, untuk
memberantas segala bentuk perdagangan perempuan dan ekploitasi pelacuran.
BAGIAN II
Pasal 7
Negara-negara peserta wajib membuat
peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan
dalam kehidupan politik dan kehidupan kemasyarakatan negaranya, khususnya menjamin
bagi perempuan atas dasar persamaan dengan laki-laki, hak:
(a) untuk memilih dan dipilih;
(b) untuk berpartisipasi dalam perumusan
kebijaksanaan pemerintah dan implementasinya, memegang jabatan dalam
pemerintahan dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di semua tingkat;
(c) untuk berpartisipasi dalam
organisasi-organisasi dan perkumpulan-perkumpulan nonpemerintah yang
berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik negara.
Pasal 8
Negara-negara peserta wajib membuat
peraturan-peraturan yang tepat untuk menjamin bagi perempuan kesempatan untuk
mewakili pemerintah mereka pada tingkat international dan untuk berpartisipasi
dalam pekerjaan organisasi-organisasi international atas dasar persamaan dengan
laki-laki tanpa suatu diskriminasi.
Pasal 9
1. Negara-negara peserta wajib memberi kepada
perempuan hak yang sama dengan laki-laki untuk memperoleh, mengubah atau
mempertahankan kewarganegaraannya. Negaranegara peserta khususnya wajib
menjamin bahwa perkawinan dengan orang asing maupun perubahan kewarganegaraan
oleh suami selama perkawinan tidak secara otomatis mengubah kewarganegaraan
isteri, menjadikannya tidak berkewarganegaraan atau memaksakan kewarganegaraan
suaminya kepadanya.
2. Negara-negara peserta wajib memberi kepada
perempuan hak yang sama dengan laki-laki berkenaan kewarganegaraan anak-anak
mereka.
BAGIAN III
Pasal 10
Negara-negara peserta wajib membuat
peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan
guna menjamin bagi mereka hak-hak yang sama dengan laki-laki di lapangan
pendidikan, khususnya guna menjamin persamaan antara laki-laki dan perempuan:
(a) Persyaratan yang sama untuk bimbingan karir dan
keahlian, untuk kesempatan mengikuti pendidikan dan memperoleh ijazah dalam
lembaga-lembaga pendidikan segala tingkatan baik di daerah pedesaan maupun
perkotaan; Persamaan ini wajib dijamin baik dalam pendidikan taman kanak-kanak,
umum, tehnik, serta dalam pendidikan keahlian tehnik tinggi, maupun dalam
segala macam jenis pelatihan kejuruan;
(b) Pengikutsertaan pada kurikulum yang sama, ujian
yang sama, staf pengajar dengan standar kualifikasi yang sama, serta gedung dan
peralatan sekolah yang berkualitas sama;
(c) Penghapusan tiap konsep yang stereotip mengenai
peranan laki-laki dan perempuan di segala tingkat dan dalam segala bentuk
pendidikan dengan menganjurkan ko-edukasi dan lain-lain jenis pendidikan yang
akan membantu untuk mencapai tujuan ini, khususnya dengan merevisi buku wajib
dan program-program sekolah serta penyesualan metode mengajar;
(d) Kesempatan yang sama untuk mengambil manfaat
dari beasiswa dan lain-lain dana pendidikan;
(e) Kesempatan yang sama untuk ikut serta dalam
program pendidikan yang berkelanjutan, termasuk program pendidikan orang dewasa
dan pemberantasan buta huruf fungsional, khususnya program-program yang
ditujukan pada pengurangan sedini mungkin tiap jurang pemisah dalam pendidikan
yang ada antara laki-laki dan perempuan;
(f) Pengurangan angka putus sekolah pelajar puteri
dan penyelenggaraan program untuk gadis-gadis dan perempuan yang sebelum
waktunya meninggalkan sekolah.
(g) Kesempatan yang sama untuk berpartisipasi
secara aktif dalam olahraga dan pendidikan jasmani;
(h) Dapat memperoleh penerangan edukatif khusus
untuk membantu meniamin kesehatan dan kesejahteraan keluarga, termasuk penerangan
dan nasehat mengenal keluarga berencana.
Pasal 11
1. Negara-negara peserta wajib membuat
peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan
dilapangan pekerjaan guna menjamin hak-hak yang sama atas dasar persamaan
antara laki-laki dan perempuan, khususnya:
(a) Hak untuk bekerja sebagai hak azasi manusia;
(b) Hak atas kesempatan kerja yang sama, termasuk
penerapan kriteria seleksi yang sama dalan penerimaan pegawai;
(c) Hak untuk memilih dengan bebas profesi dan
pekerjaan, hak untuk promosi, jaminan pekerjaan dan semua tuniangan serta
fasilitas kerja, hak untuk rnemperoleh pelatihan kejuruan dan pelatihan ulang
termasuk masa kerja sebagai magang, pelatihan kejuruan lanjutan dan pelatihan
ulang lanjutan;
(d) Hak untuk menerima upah yang sama, termasuk
tuniangan-tunjangan, baik untuk perlakuan yang sama sehubungan dengan pekerjaan
dengan nilai yang sama, maupun persamaan perlakuan dalam penilaian kualitas
pekerjaan;
(e) Hak atas jaminan sosial, khususnya dalam hal
pensiun, pengangguran, sakit, cacat, lanjut usia, serta lain-lain
ketidakmampuan untuk bekerja, hak atas masa cuti yang dibayar;
(f) Hak atas perlindungan kesehatan dan keselamatan
keria, termasuk usaha perlindungan terhadap fungsi melanjutkan keturunan.
2. Untuk mencegah diskriminasi terhadap perempuan
atas dasar perkawinan atau kehamilan dan untuk menjamin hak efektif mereka
untuk bekerja, negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang
tepat:
(a) Untuk melarang, dengan dikenakan sanksi
pemecatan atas dasar kehamilan atau cuti hamil dan diskriminasi dalam
pemberhentian atas dasar status perkawinan;
(b) Untuk mengadakan peraturan cut! hami) dengan
bayaran atau dengan tunjangan sosial yang sebanding tanpa kehilangan pekerjaan
semula.
(c) Untuk menganjurkan pengadaan pelayanan sosial
yang perlu guna memungkinkan para orang tua menggabungkan kewajiban-kewajiban
keluarga dengan tanggungjawab pekerjaan dan partisipasi dalam kehidupan
masyarakat, khususnya dengan meningkatkan pembentukan dan pengembangan suatu jaringan
tempat-tempat penitipan anak;
(d) Untuk memberi perlindungan khusus kepada kaum
perempuan selama kehamilan pada jenis pekerjaan yang terbukti berbahaya bagi
mereka;
3. Perundang-undangan yang bersifat melindungi
sehubungan dengan hal-hal yang tercakup dalam pasal ini wajib ditinjau kemball
secara berkala berdasar ilmu pengetahuan dan tehnologi, serta direvisi, dicabut
atau diperluas menurut keperluan.
Pasal 12
1. Negara-negara peserta wajib membuat
peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan
di bidang pemeliharaan kesehatan dan supaya menjamin diperolehnya pelayanan
kesehatan termasuk pelayanan yang berhubungan dengan keluarga berencana, atas
dasar persamaan antara laki-laki dan
perempuan.
2. Sekalipun terdapat ketentuan pada ayat 1) ini,
negara-negara peserta wajib menjamin kepada perempuan pelayanan yang layak
berkaitan dengan kehamilan, persalinan dan masa sesudah persalinan, dengan
memberikan pelayanan cuma-cuma dimana perlu, serta pemberian makanan bergizi
yang cukup selama kehamilan dan masa menyusui.
Pasal 13
Negara-negara wajib membuat peraturan-peraturan
yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan di lain-lain bidang
kehidupan ekonomi dan social supaya menjamin hak-hak yang sama, atas dasar persamaan
antara laki-laki dan perempuan, khususnya:
(a) Hak atas tunjangan keluarga;
(b) Hak atas pinjaman bank, hipotek dan lain-lain
bentuk kredit permodalan;
(c) Hak untuk ikut serta dalam kegiatan-kegiatan
rekreasi, olah raga dan semua segi
kehidupan kebudayaan.
Pasal 14
1. Negara-negara peserta wajib memperhatikan
masalah-masalah khusus yang dihadapi oleh perempuan didaerah pedesaan dan
peranan yang dimainkan perempuan pedesaan demi kelangsungan hidup keluarga
mereka di bidang ekonomi, termasuk pekerjaan mereka pada sektor ekonomi bukan
penghasil uang, dan wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk meniamin
penerapan ketentuan-ketentuan Konvensi ini bagi perempuan di daerah pedesaan.
2. Negara-negara peserta wajib membuat
peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus disktiminasi terhadap perempuan
di daerah pedesaan, dan menjamin bahwa mereka ikut serta dalam dan mengecap
manfaat dari pembangunan pedesaan atas dasar persamaan antara laki-laki dan
perempuan, khususnya menjamin kepada perempuan pedesaan hak:
(a) Untuk berpartisipasi dalam perluasan dan
implementasi perencanaan pembangunan di segala tingkat;
(b) Untuk memperoleh fasilitas pemeliharaan
kesehatan yang memadai, termasuk penerangan, penyuluhan dan pelayanan dalam
keluarga berencana;
(c) Untuk mendapatkan manfaat langsung dari program
jaminan sosial;
(d) Untuk memperoleh segala jenis pelatihan dan
pendidikan, baik formal maupun non formal, termasuk yang berhubungan dengan
pemberantasan buta huruf fungsional, serta manfaat semua pelayanan masyarakat
dan pelayanan penyuluhan guna meningkatkan ketrampilan tehnik mereka;
(e) Untuk membentuk kelompok-kelompok swadaya dan
koperasi supaya memperoleh peluang yang sama terhadap kesempatan-kesempatan
ekonomi melalui pekerjaan atau kewiraswastaan;
(f) Untuk berpartisipasi dalam semua kegiatan
masyarakat;
(g) Untuk dapat memperoleh kredit dan pinjaman
pertanian, fasilitas pemasaran, tehnologi tepat-guna, serta periakuan sama pada
landreform dan urusan-urusan pertanahan termasuk pengaturan-pengaturan tanah
pemukiman;
(h) Untuk menikmati kondisi hidup yang memadai,
terutama yang berhubungan dengan perumahan, sanitasi, penyediaan listrik dan
air, pengangkutan dan komunikasi.
BAGIAN IV
Pasal 15
1. Negara-negara peserta wajib memberikan kepada
perempuan persamaan hak dengan laki-laki di muka hukum.
2. Negara-negara peserta wajib memberikan kepada
perempuan dalam urusan urusan sipil kecakapan hukum yang sama dengan kaum
laki-laki dan kesempatan yang sama untuk menjalankan kecakapan tersebut,
khususnya agar memberikan kepada perempuan hak-hak yang sama untuk
menandatangani kontrak-kontrak dan untuk mengurus harta benda, serta wajib
memberi mereka perlakuan yang sama pada semua tingkatan prosedur di muka hakim
dan pengadilan.
3. Negara-negara peserta bersepakat bahwa semua
kontrak dan semua dokumen yang mempunyai kekuatan hukum yang ditujukan kepada
pembatasan kecakapan hukum bagi perempuan, wajib dianggap batal dan tidak
berlaku.
4. Negara-negara peserta wajib memberikan kepada
laki-laki dan perempuan hak-hak yang sama berkenaan dengan hukum yang
berhubungan dengan mobilitas orang-orang dan kebebasan untuk memilih tempat
tinggal dan domisili mereka.
Pasal 16
1. Negara-negara peserta wajib membuat
peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan
dalam semua urusan yang berhubungan dengan perkawinan dan hubungan kekeluargaan
atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan, dan khususnya akan
menjamin:
a) Hak yang sama untuk memasuki jenjang perkawinan;
b) Hak yang sama untuk memilih suami secara bebas
dan untuk memasuki jenjang perkawinan hanya dengan persetujuan yang bebas dan
sepenuhnya;
c) Hak dan tanggungjawab yang sama selama
perkawinan dan pada pemutusan perkawinan;
d) Hak dan tanggungjawab yang sama sebagai orang
tua, terlepas dari status kawin mereka, dalam urusan-urusan yang berhubungan
dengan anak-anak mereka. Dalam semua kasus, kepentingan anak-anaklah yang wajib
diutamakan;
e) Hak yang sama untuk menentukan secara bebas dan
bertanggungjawab jumlah dan penjarakan kelahiran anak-anak mereka serta untuk
memperoleh penerangan, pendidikan dan sarana-sarana untuk memungkinkan mereka
menggunakan hak-hak ini;
f) Hak dan tanggung jawab yang sama berkenaan
dengan perwalian, pemeliharaan, pengawasan dan pengangkatan anak a’tau
lembaga-lembaga yang sejenis di mana konsep-konsep ini ada dalam
perundang-undangan nasional, dalam semua kasus kepentingan anak-anaklah yang
wajib diutamakan;
g) Hak pribadi yang sama sebagai suami isteri,
termasuk hak untuk memilih nama keluarga, profesi dan jabatan;
h) Hak sama untuk kedua suami isteri bertalian
dengan pemiiikan, perolehan, pengelolaan, administrasi, penikmatan dan
memindahtangankan harta benda, baik secara cuma-cuma maupun dengan penggantian
berupa uang.
2. Pertunangan dan perkawinan seorang anak tidak
akan mempunyai akibat hukum dan semua tindakan yang periu, termasuk
perundangundangan, wajib diambil untuk menetapkan usia minimum untuk kawin dan
untuk mewajibkan pendaftaran perkawinan di Kantor Catatan Sipil yang resmi.
BAGIAN V
Pasal 17
1. Untuk menilai kemajuan yang telah dibuat pada
implementasi Konvensi yang sekarang ini, dibentuk suatu Komite Penghapusan
Diskriminasi Terhadap Perempuan (Komite CEDAW, selanjutnya disebut Komite).
Pada waktu Konvensi ini mulai berlaku, Komite terdiri dari delapan belas orang
dan setelah Konvensi ini diartifikasi atau dilakukan aksesi oleh negara peserta
ketiga puluh lima, terdiri dari dua puluh tiga orang ahli yang bermartabat
tinggi dan kompeten di bidang yang dicakup oleh Konvensi ini. Ahli-ahli ini
akan dipilih oleh negara-negara peserta diantara warganegaranya dan bertindak
dalam kapasitas pribadi mereka, dengan mempertimbangkan distribusi geografis
yang tepat dan mempertimbangkan unsur-unsur dari berbagai bentuk peradaban
manusia dan system hukum utama yang berlaku.
2. Anggota-anggota Komite dipilih dengan jalan
pemungutan suara secara rahasia dari daftar nama orang-orang yang dicalonkan
oleh negara-negara peserta. Setiap Negara peserta mencalonkan seorang di antara
warganegaranya sendiri.
3. Pemilihan pertama diadakan enam bulan setelah
tanggal mulal berlakunya Konvensi. Sekurang-kurangnya tiga bulan sebelum
tanggal setiap pemilihan, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa
mengirimkan surat kepada negara-negara peserta, mengundang mereka untuk
mengajukan pencalonan mereka dalam waktu dua bulan. Sekretaris Jenderal
mempersiapkan daftar menurut urutan dari semua orang yang dicalonkan itu,
dengan mencantumkan nama negara peserta yang telah mencalonkan mereka, dan
menyampalkan daftar itu kepada negara peserta;
4. Pemilihan para anggota Komite diadakan pada
suatu rapat antar negara-negara peserta yang diundang oleh Sekretaris Jenderal
di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada rapat tersebut, dua pertiga
dari negara-negara yang terpilih untuk Komite itu adalah calon-calon yang
memperoleh jumiah suara terbesar dan mayoritas mutlak dari suara para wakil
negara-negara peserta yang hadir yang memberikan suara.
5. Para anggota Komite dipilih untuk masa
jabatan empat tahun. Namun, masa jabatan sembilan orang di antara anggota yang
dipilih pada pemilihan pertama habis waktunya setelah dua tahun berakhir;
segera setelah pemilihan pertama, nama-nama ke sembilan anggota ini dipilih
melalui undian oleh Ketua Komite.
6. Pemilihan lima orang anggota Komite
tambahan diadakan sesual dengan ketentuan ayat 2) 3) dan 4) pasal lni, setelah
ratifikasi atau aksesi yang ke tiga puluh lima. Masa jabatan dua orang di
antara anggota-anggota tambahan yang dipilih pada kesempatan ini habis waktunya
setelah dua tahun berakhir, nama-nama kedua anggota ini dipilih melalui undian
oleh Ketua Komite.
7. Untuk mengisi lowongan yang timbul secara
insidentil, negara-negara peserta yang ahlinya berhenti berfungsi sebagai
anggota, Komite menunjuk ahli lain dari antara warga negara yang harus disetujui
oleh Komite.
8. Anggota Komite dengan persetujuan Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa, akan menerima tunjangan-tunjangan dari
sumber-sumber Perserikatan Bangsa-Bangsa menurut syarat-syarat seperti yang
ditentukan oleh Majelis, mengingat pentingnya tanggung jawab Komite.
9. Sekretaris lenderal Perserikatan Bangsa Bangsa
menyediakan pegawai-pegawai dan fasilitas yang diperlukan bag! pelaksanaan
efektif fungsi-fungsi Komite di bawah Konvensi ini.
Pasal 18
1. Negara-negara peserta akan menyampaikan kepada
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, untuk dipertimbangkan oleh
Komite laporan mengenai peraturanperaturan legislatif, judikatif, administratif
atau langkah-langkah lain yang telah diambil untuk memberiakukan
ketentuan-ketentuan dari Konvensi yang sekarang ini dan laporan mengenai
kemajuan yang dicapai:
(a) Dalam satu tahun setelah mulai berlaku untuk
negara yang bersangkutan; dan
(b) Sesudah itu sekurang-kurangnya tiap empat tahun
dan selanjutnya sewaktu-waktu sesuai permintaan Komite.
2. Laporan dapat memuat faktor dan kesulitan yang
mempengaruhi tingkat pelaksanaan kewajiban-kewajiban yang terdapat di dalam
Konvensi ini.
Pasal 19
1. Komite wajib membuat peraturan-peraturan
prosedurnya sendiri.
2. Komite wajib memilih pejabat-pejabatnya untuk
masa jabatan dua tahun.
Pasal 20
1. Komite wajib tiap tahun mengadakan pertemuan
untuk jangka waktu tidak lebih dari dua minggu guna mempertimbangkan
laporan-laporan yang diajukan sesual dengan pasal 18 Konvensi ini.
2. Pertemuan Komite tersebut pada ayat 1) diadakan
di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa atau di tempat lain sesuai dengan
keputusan Panitia.
Pasal 21
1. Komite, melalui Dewan Ekonomi dan Sosial, setiap
tahun wajib melapor kepada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai
kegiatannya serta dapat memberi saran-saran dan rekomendasi umum berdasarkan
penelitian laporan-laporan dan keterangan yang diterima dari negara-negara
peserta. Saran-saran dan rekomendasi umum tersebut wajib dimasukkan dalam
laporan Komite bersama-sama dengan tanggapan, jika ada, dari negara-negara
peserta.
2. Sekretaris Jenderal wajib mengirim
laporan-laporan Komite kepada Komisi Kedudukan Perempuan, untuk diketahui.
Pasal 22
Badan-badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa
berhak untuk diwakili sesuai dengan lingkup kegiatan mereka pada waktu
dipertimbangkan pelaksanaan ketentuan-ketentuan Konvensi ini. Komite dapat
meminta badan-badan khusus tersebut untuk menyerahkan laporannya mengenai
pelaksanaan Konvensi yang termasuk lingkup kegiatan mereka.
BAGIAN VI
Pasal 23
Apapun dalam Konvensi ini tidak akan mempengaruhl
ketentuan manapun yang lebih baik bagi tercapainya persamaan antara laki-laki
dan perempuan yang mungkin terdapat:
(a) Dalam perundang-undangan suatu negara peserta;
atau
(b) Dalam Konvensi, perjanjian atau persetujuan
lnternasional manapun yang berlaku bagi negara itu.
Pasal 24
Negara-negara peserta mengusahakan untuk mengambil
segala langkah yang perlu pada tingkat nasional yang ditujukan pada tercapainya
perwujudan sepenuhnya dari hak-hak yang diakui dalam Konvensi ini.
Pasal 25
1. Konvensi ini terbuka untuk penandatanganan oleh
semua negara.
2. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa
ditunjuk sebagai penyimpan Konvensi
ini.
3. Konvensi ini perlu diratifikasi.
Instrumen-instrumen ratifikasi disimpan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
4. Konvensi ini terbuka untuk aksesi oleh semua
negara. Aksesi berlaku dengan penyimpanan instrumen aksesi pada Sekretaris
Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pasal 26
1. Permintaan untuk merevisi Konvensi ini dapat
diajukan sewaktu-waktu oleh setiap negara peserta dengan pemberitahuan tertulis
yang dialamatkan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
2. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa apabila
perlu menentukan langkah-langkah yang akan diambil bertalian dengan permintaan
tersebut.
Pasal 27
1. Konvensi ini mulai beriaku pada hari ke tiga
puluh setelah tanggal disimpankannya instrumen ratifikasi atau instrumen aksesi
yang kedua puluh pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
2. Bagi setiap Negara yang meratifikasi Konvensi
ini atau yang melakukan aksesi setelah penyimpanan lnstrumen ratifikasi atau
instrumen aksesi yang kedua puluh, Konvensi ini mulai berlaku pada hari ketiga
puluh setelah tanggal disimpankannya lnstrumen ratifikasi atau instrumen
aksesinya sendiri.
Pasal 28
1. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa
menerima dan mengedarkan kepada semua negara naskah keberatan-keberatan yang
dibuat oleh negara-negara pada waktu ratifikasi atau aksesi.
2. Keberatan yang bertentangan dengan sasaran dan
tujuan Konvensi ini tidak diijinkan.
3. Keberatan-keberatan sewaktu-waktu dapat ditarik
kembali dengan memberitahukannya
kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan
BangsaBangsa yang kemudian memberitahukan hal tersebut kepada semua negara.
Pasal 29
1. Setiap perselisihan antara dua atau lebih negara
peserta mengenai penafsiran atau penerapan Konvensi ini yang tidak diselesaikan
melalui perundingan, diajukan untuk arbitrasi atas permohonan salah satu
diantara negara-negara tersebut. Jika dalam enam bulan sejak tanggal permohonan
untuk arbitrast pihak-pihak tidak dapat bersepakat mengenai penyelenggaraan
arbitrasi itu, salah satu dari pihak-pihak tersebut dapat menyerahkan
perselisihan itu kepada Mahkamah Internasional melalui permohonan yang sesuai
dengan Peraturan Mahkamah itu.
2. Setiap negara peserta pada waktu penandatanganan
atau ratifikasi Konvensi ini atau pada waktu aksesi dapat menyatakan bahwa
negara peserta itu tidak menganggap dirinya terikat oleh ayat I pasal ini,
negara-negara peserta lain tidak akan terikat oleh ayat itu terhadap negara
peserta yang telah membuat keberatan demikian.
3. Negara peserta yang telah mengajukan keberatan
seperti tersebut pada ayat 2) pasal ini sewaktu-waktu dapat menarik kembali keberatannya
dengan jalan pemberitahuan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa
Bangsa.
Pasal 30
Konvensi ini, yang naskahnya dibuat dalam bahasa
Arab, Cina, Inggris, Perancis, Rusia, dan Spanyol, mempunyai kekuatan yang sama
dan wajib disimpan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa.
Demikianlah yang bertandatangan di bawah ini,
diberi kuasa sebagaimana mestinya, telah menandatangani Konvensi ini.
Ditetapkan dan dibuka untuk ditandatangani,
diratifikasi dan disetujui oleh Resolusi Majelis Umum 34/180 pada 18
Desember 1979
UU
NO. 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa manusia, sebagai makhluk ciptaan Tuhan
Yang Maha Esa yang mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan
penuh ketaqwaan dan penuh tanggung jawab untuk kesejahteraan umat manusia, oleh
penciptaNya dianugerahi hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat
kemuliaan dirinya serta keharmonisan lingkungannya;
b. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang
secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh
karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh
diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun;
c. bahwa selain hak asasi, manusia juga mempunyai
kewajiban dasar antara manusia yang satu terhadap yang lain dan terhadap
masyarakat secara keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara;
d. bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk
menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi
Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai
instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia yang telah diterima
oleh negara Republik Indonesia;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, b, c, dan d dalam rangka melaksanakan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi
Manusia, perlu membentuk Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia;
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 26,
Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33 ayat (1)
dan ayat (3), dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia;
Dengan persetujuan
*9944 DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG HAK ASASI
MANUSIA.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa
dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.
2. Kewajiban dasar manusia adalah seperangkat
kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksana dan
tegaknya hak asasi manusia.
3. Diskriminasi adalah setiap pembatasan,
pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan
manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial,
status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat
pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau
penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik
individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial,
budaya, dan aspek kehidupan lainnya.
4. Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang
hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan
atau keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas
suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang
atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa seseorang atau orang ketiga,
atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi,
apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan
dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan atau pejabat publik.
5. Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah
18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam
kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
6. Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap
perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja
maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi,
menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau
kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar,
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
7. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang
selanjutnya disebut Komnas HAM adalah lembaga mandiri yang kedudukannya
setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian,
penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia.
BAB II ASAS-ASAS DASAR
Pasal 2
Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung
tinggi hak asasi manusia *9945 dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang
secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus
dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan,
kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.
Pasal 3
(1) Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan
martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani
untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam semangat
persaudaraan.
(2) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan
perlakuan yang sama di depan hukum.
(3) Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi
manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi.
Pasal 4
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum,
dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh
siapapun.
Pasal 5
(1) Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi
yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama
sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum.
(2) Setiap orang berhak mendapat bantuan dan
perlindungan yang adil dari pengadilan yang objektif dan tidak berpihak.
(3) Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat
yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan
kekhususannya.
Pasal 6
(1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia,
perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan
dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah.
(2) Identitas budaya masyarakat hukum adat,
termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
Pasal 7
(1) Setiap orang berhak untuk menggunakan semua
upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua pelanggaran hak asasi
manusia yang dijamin oleh hukum Indonesia dan hukum internasional mengenai hak
asasi manusia yang telah diterima negara Republik Indonesia.
(2) Ketentuan hukum internasional yang telah
diterima negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi
hukum nasional.
Pasal 8
*9946 Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah.
BAB III HAK ASASI MANUSIA DAN KEBEBASAN DASAR
MANUSIA
Bagian Kesatu Hak untuk Hidup
Pasal 9
(1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan
hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.
(2) Setiap orang berhak hidup tenteram, aman,
damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.
(3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat.
Bagian Kedua Hak Berkeluarga dan Melanjutkan
Keturunan
Pasal 10
(1) Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga
dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
(2) Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung
atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga Hak Mengembangkan Diri
Pasal 11
Setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan
dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak.
Pasal 12
Setiap orang berhak atas perlindungan bagi
pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan
meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa,
bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak
asasi manusia.
Pasal 13
Setiap orang berhak untuk mengembangkan dan
memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya sesuai
dengan martabat manusia demi kesejahteraan pribadinya, bangsa, dan umat
manusia.
Pasal 14
(1) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan
sosialnya.
(2) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan
segala jenis *9947 sarana yang tersedia.
Pasal 15
Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak
pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun
masyarakat, bangsa, dan negaranya.
Pasal 16
Setiap orang berhak untuk melakukan pekerjaan
sosial dan kebajikan, mendirikan organisasi untuk itu, termasuk
menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran, serta menghimpun dana untuk maksud
tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keempat Hak Memperoleh Keadilan
Pasal 17
Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk
memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik
dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses
peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin
pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh
putusan yang adil dan benar.
Pasal 18
(1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan
dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak
bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang
pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk
pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum
atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan
yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukannya.
(3) Setiap ada perubahan dalam peraturan
perundang-undangan, maka berlaku ketentuan yang paling menguntungkan bagi
tersangka.
(4) Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan
bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
(5) Setiap orang tidak dapat dituntut untuk kedua
kalinya dalam perkara yang sama atas suatu perbuatan yang telah memperoleh
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Pasal 19
(1) Tiada suatu pelanggaran atau kejahatan apapun
diancam dengan hukuman berupa perampasan seluruh harta kekayaan milik yang
bersalah.
(2) Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh
dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk
memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.
Bagian Kelima *9948 Hak Atas Kebebasan Pribadi
Pasal 20
(1) Tidak seorangpun boleh diperbudak atau
diperhamba.
(2) Perbudakan atau perhambaan, perdagangan budak,
perdagangan wanita, dan segala perbuatan berupa apapun yang tujuannya serupa,
dilarang.
Pasal 21
Setiap orang berhak atas keutuhan pribadi, baik
rohani maupun jasmani, dan karena itu tidak boleh menjadi objek penelitian
tanpa persetujuan darinya.
Pasal 22
(1) Setiap orang bebas memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.
Pasal 23
(1) Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai
keyakinan politiknya.
(2) Setiap orang bebas untuk mempunyai,
mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan
dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan
nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan
bangsa.
Pasal 24
(1) Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat,
dan berserikat untuk maksud-maksud damai.
(2) Setiap warga negara atau kelompok masyarakat
berhak mendirikan partai politik, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi
lainnya untuk berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan penyelenggaraan
negara sejalan dengan tuntutan perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi
manusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 25
Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di
muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 26
(1) Setiap orang berhak memiliki, memperoleh,
mengganti, atau mempertahankan status kewarganegaraannya.
(2) Setiap orang bebas memilih kewarganegaraannya
dan tanpa diskriminasi berhak menikmati hak-hak yang bersumber dan melekat pada
kewarganegaraannya serta wajib melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 27
*9949 (1) Setiap warga negara Indonesia berhak
untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah
negara Republik Indonesia.
(2) Setiap warga negara Indonesia berhak
meninggalkan dan masuk kembali ke wilayah negara Republik Indonesia, sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keenam Hak atas Rasa Aman
Pasal 28
(1) Setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh
perlindungan politik dari negara lain.
(2) Hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
berlaku bagi mereka yang melakukan kejahatan nonpolitik atau perbuatan yang
bertentangan dengan tujuan dan prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pasal 29
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya.
(2) Setiap orang berhak atas pengakuan di depan
hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada.
Pasal 30
Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta
perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu.
Pasal 31
(1) Tempat kediaman siapapun tidak boleh diganggu.
(2) Menginjak atau memasuki suatu pekarangan tempat
kediaman atau memasuki suatu rumah bertentangan dengan kehendak orang yang
mendiaminya, hanya diperbolehkan dalam hal-hal yang telah ditetapkan oleh
undang-undang.
Pasal 32
Kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan
surat-menyurat termasuk hubungan komunikasi melalui sarana elektronik tidak
boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 33
(1) Setiap orang berhak untuk bebas dari
penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan
derajat dan martabat kemanusiaannya.
(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari
penghilangan paksa dan penghilangan nyawa.
Pasal 34
*9950 Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan,
disiksa, dikucilkan, diasingkan, atau dibuang secara sewenang-wenang.
Pasal 35
Setiap orang berhak hidup di dalam tatanan
masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman, dan tenteram, yang menghormati,
melindungi dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar
manusia sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
Bagian Ketujuh Hak atas Kesejahteraan
Pasal 36
(1) Setiap orang berhak mempunyai milik, baik
sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya,
keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum.
(2) Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan
sewenang-wenang dan secara melawan hukum.
(3) Hak milik mempunyai fungsi sosial.
Pasal 37
(1) Pencabutan hak milik atas suatu benda demi
kepentingan umum, hanya diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan
segera serta pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Apabila sesuatu benda berdasarkan ketentuan
hukum demi kepentingan umum harus dimusnahkan atau tidak diberdayakan baik
untuk selamanya maupun untuk sementara waktu maka hal itu dilakukan dengan
mengganti kerugian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali
ditentukan lain.
Pasal 38
(1) Setiap warga negara, sesuai dengan bakat,
kecakapan, dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak.
(2) Setiap orang berhak dengan bebas memilih
pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan
yang adil.
(3) Setiap orang, baik pria maupun wanita yang
melakukan pekerjaan yang sama, sebanding, setara atau serupa, berhak atas upah
serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama.
(4) Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam
melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atas
upah yang adil sesuai dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan
kehidupan keluarganya.
Pasal 39
Setiap orang berhak untuk mendirikan serikat
pekerja dan tidak boleh dihambat untuk menjadi anggotanya demi melindungi dan
memperjuangkan kepentingannya serta sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
*9951 Pasal 40
Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta
berkehidupan yang layak.
Pasal 41
(1) Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial
yang dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk perkembangan pribadinya secara
utuh.
(2) Setiap penyandang cacat, orang yang berusia
lanjut, wanita hamil, dan anak-anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan
khusus.
Pasal 42
Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat
fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan,
dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak
sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan
kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Bagian Kedelapan Hak Turut Serta dalam Pemerintahan
Pasal 43
(1) Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan
memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara
yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Setiap warga negara berhak turut serta dalam
pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya
dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
(3) Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap
jabatan pemerintahan.
Pasal 44
Setiap orang baik sendiri maupun bersama-sama
berhak mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau usulan kepada
pemerintah dalam rangka pelaksanaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan
efisien, baik dengan lisan maupun dengan tulisan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Bagian Kesembilan Hak Wanita
Pasal 45
Hak wanita dalam Undang-undang ini adalah hak asasi
manusia.
Pasal 46
Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan
anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif,
yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang
ditentukan.
Pasal 47
*9952 Seorang wanita yang menikah dengan seorang
pria berkewarganegaraan asing tidak secara otomatis mengikuti status
kewarganegaraan suaminya tetapi mempunyai hak untuk mempertahankan, mengganti,
atau memperoleh kembali status kewarganegaraannya.
Pasal 48
Wanita berhak untuk memperoleh pendidikan dan
pengajaran di semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan sesuai dengan
persyaratan yang telah ditentukan.
Pasal 49
(1) Wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat
dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan
perundang-undangan.
(2) Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan
khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat
mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi
wanita.
(3) Hak khusus yang melekat pada diri wanita
dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum.
Pasal 50
Wanita yang telah dewasa dan atau telah menikah
berhak untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh
hukum agamanya.
Pasal 51
(1) Seorang istri selama dalam ikatan perkawinan
mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan suaminya atas semua hal yang
berkenaan dengan kehidupan perkawinannya, hubungan dengan anak-anaknya, dan hak
pemilikan serta pengelolaan harta bersama.
(2) Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita
mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua
hal yang berkenaan dengan anak-anaknya, dengan memperhatikan kepentingan
terbaik bagi anak.
(3) Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita
mempunyai hak yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan
dengan harta bersama tanpa mengurangi hak anak, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Kesepuluh Hak Anak
Pasal 52
(1) Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang
tua, keluarga, masyarakat, dan negara.
(2) Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk
kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam
kandungan.
Pasal 53
*9953 (1) Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak
untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya.
(2) Setiap anak sejak kelahirannya, berhak atas
suatu nama dan status kewarganegaraan.
Pasal 54
Setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak
memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya
negara, untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan,
meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pasal 55
Setiap anak berhak untuk beribadah menurut
agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan
usianya di bawah bimbingan orang tua dan atau wali.
Pasal 56
(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui siapa orang
tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
(2) Dalam hal orang tua anak tidak mampu
membesarkan dan memelihara anaknya dengan baik dan sesuai dengan Undang-undang
ini, maka anak tersebut boleh diasuh atau diangkat sebagai anak oleh orang lain
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 57
(1) Setiap anak berhak untuk dibesarkan,
dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan, dan dibimbing kehidupannya oleh orang
tua atau walinya sampai dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Setiap anak berhak untuk mendapatkan orang tua
angkat atau wali berdasarkan putusan pengadilan apabila kedua orang tua telah
meninggal dunia atau karena suatu sebab yang sah tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai orang tua.
(3) Orang tua angkat atau wali sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) harus menjalankan kewajiban sebagai orang tua yang sesungguhnya.
Pasal 58
(1) Setiap anak berhak untuk mendapatkan
perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental,
penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan
orang tua atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas
pengasuhan anak tersebut.
(2) Dalam hal orang tua, wali, atau pengasuh anak
melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan
buruk, dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, dan atau pembunuhan terhadap
anak yang seharusnya dilindungi, maka harus dikenakan pemberatan hukuman.
Pasal 59
*9954 (1) Setiap anak berhak untuk tidak dipisahkan
dari orang tuanya secara bertentangan dengan kehendak anak sendiri, kecuali
jika ada alasan dan aturan hukum yang sah yang menunjukkan bahwa pemisahan itu
adalah demi kepentingan terbaik bagi anak.
(2) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), hak anak untuk tetap bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap
dengan orang tuanya tetap dijamin oleh Undang-undang.
Pasal 60
(1) Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan
dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat,
dan tingkat kecerdasannya.
(2) Setiap anak berhak mencari, menerima, dan
memberikan informasi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya demi
pengembangan dirinya sepanjang sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan
kepatutan.
Pasal 61
Setiap anak berhak untuk beristirahat, bergaul
dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan
minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan dirinya.
Pasal 62
Setiap anak berhak untuk memperoleh pelayanan
kesehatan dan jaminan sosial secara layak, sesuai dengan kebutuhan fisik dan
mental spiritualnya.
Pasal 63
Setiap anak berhak untuk tidak dilibatkan di dalam
peristiwa peperangan, sengketa bersenjata, kerusuhan sosial, dan peristiwa lain
yang mengandung unsur kekerasan.
Pasal 64
Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan
dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan
dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan
sosial, dan mental spiritualnya.
Pasal 65
Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan
dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak,
serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat
adiktif lainnya.
Pasal 66
(1) Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan
sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
(2) Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak
dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak.
(3) Setiap anak berhak untuk tidak dirampas
kebebasannya secara melawan hukum.
*9955 (4) Penangkapan, penahanan, atau pidana
penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya
dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir.
(5) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak
mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan
pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang
dewasa, kecuali demi kepentingannya.
(6) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak
memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap
tahapan upaya hukum yang berlaku.
(7) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak
untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang
objektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.
BAB IV KEWAJIBAN DASAR MANUSIA
Pasal 67
Setiap orang yang ada di wilayah negara Republik
Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis,
dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh
negara Republik Indonesia.
Pasal 68
Setiap warga negara wajib ikut serta dalam upaya
pembelaan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 69
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia
orang lain, moral, etika, dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
(2) Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan
kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain
secara timbal balik serta menjadi tugas Pemerintah untuk menghormati,
melindungi, menegakkan, dan memajukannya.
Pasal 70
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap
orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan
maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
BAB V KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH
Pasal 71
Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati,
melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam
Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional
tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia.
*9956 Pasal 72
Kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam
bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan
bidang lain.
BAB VI PEMBATASAN DAN LARANGAN
Pasal 73
Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang
ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk
menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan
dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.
Pasal 74
Tidak satu ketentuanpun dalam Undang-undang ini
boleh diartikan bahwa Pemerintah, partai, golongan atau pihak manapun
dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia atau
kebebasan dasar yang diatur dalam Undang-undang ini.
BAB VII KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
Pasal 75
Komnas HAM bertujuan:
a. mengembangkan kondisi yang kondusif bagi
pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar
1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia; dan
b. meningkatkan perlindungan dan penegakan hak
asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan
kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Pasal 76
(1) Untuk mencapai tujuannya, Komnas HAM
melaksanakan fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi
tentang hak asasi manusia.
(2) Komnas HAM beranggotakan tokoh masyarakat yang
profesional, berdedikasi dan berintegritas tinggi, menghayati cita-cita negara
hukum dan negara kesejahteraan yang berintikan keadilan, menghormati hak asasi
manusia dan kewajiban dasar manusia.
(3) Komnas HAM berkedudukan di ibukota negara
Republik Indonesia.
(4) Perwakilan Komnas HAM dapat didirikan di daerah.
Pasal 77
Komnas HAM berasaskan Pancasila.
Pasal 78
*9957 (1) Komnas HAM mempunyai kelengkapan yang
terdiri dari: a. sidang paripurna; dan b. sub komisi.
(2) Komnas HAM mempunyai sebuah Sekretariat
Jenderal sebagai unsur pelayanan.
Pasal 79
(1) Sidang Paripurna adalah pemegang kekuasaan
tertinggi Komnas HAM.
(2) Sidang Paripurna terdiri dari seluruh anggota
Komnas HAM.
(3) Sidang Paripurna menetapkan Peraturan Tata
Tertib, Program Kerja, dan Mekanisme Kerja Komnas HAM.
Pasal 80
(1) Pelaksanaan kegiatan Komnas HAM dilakukan oleh
Subkomisi.
(2) Ketentuan mengenai Subkomisi diatur dalam
Peraturan Tata Tertib Komnas HAM.
Pasal 81
(1) Sekretariat Jenderal memberikan pelayanan
administratif bagi pelaksanaan kegiatan Komnas HAM.
(2) Sekretariat Jenderal dipimpin oleh Sekretaris
Jenderal dengan dibantu oleh unit kerja dalam bentuk biro-biro.
(3) Sekretaris Jenderal dijabat oleh seorang
Pegawai Negeri yang bukan anggota Komnas HAM.
(4) Sekretaris Jenderal diusulkan oleh Sidang
Paripurna dan ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(5) Kedudukan, tugas, tanggung jawab, dan susunan
organisasi Sekretariat Jenderal ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Pasal 82
Ketentuan mengenai Sidang Paripurna dan Sub Komisi
ditetapkan lebih lanjut dalam Peraturan Tata Tertib Komnas HAM.
Pasal 83
(1) Anggota Komnas HAM berjumlah 35 (tiga puluh
lima) orang yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
berdasarkan usulan Komnas HAM dan diresmikan oleh Presiden selaku Kepala
Negara.
(2) Komnas HAM dipimpin oleh seorang Ketua dan 2
(dua) orang Wakil Ketua.
(3) Ketua dan Wakil Ketua Komnas HAM dipilih oleh
dan dari Anggota.
(4) Masa jabatan keanggotaan Komnas HAM selama 5
(lima) tahun dan setelah berakhir dapat diangkat kembali hanya untuk 1 (satu)
kali masa jabatan.
*9958 Pasal 84
Yang dapat diangkat menjadi anggota Komnas HAM
adalah Warga Negara Indonesia yang:
a. memiliki pengalaman dalam upaya memajukan dan
melindungi orang atau kelompok yang dilanggar hak asasi manusianya;
b. berpengalaman sebagai hakim, jaksa, polisi, pengacara,
atau pengemban profesi hukum lainnya;
c. berpengalaman di bidang legislatif, eksekutif,
dan lembaga tinggi negara; atau
d. merupakan tokoh agama, tokoh masyarakat, anggota
lembaga swadaya masyarakat, dan kalangan perguruan tinggi.
Pasal 85
(1) Pemberhentian anggota Komnas HAM dilakukan
berdasarkan keputusan Sidang Paripurna dan diberitahukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia serta ditetapkan dengan Keputusan
Presiden.
(2) Anggota Komnas HAM berhenti antarwaktu sebagai
anggota karena: a. meninggal dunia; b. atas permintaan sendiri; c. sakit
jasmani atau rohani yang mengakibatkan anggota tidak dapat menjalankan tugas
selama 1 (satu) tahun secara terus menerus; d. dipidana karena bersalah
melakukan tindak pidana kejahatan; atau e. melakukan perbuatan tercela dan atau
hal-hal lain yang diputus oleh Sidang Paripurna karena mencemarkan martabat dan
reputasi, dan atau mengurangi kemandirian dan kredibilitas Komnas HAM.
Pasal 86
Ketentuan mengenai tata cara pemilihan,
pengangkatan, serta pemberhentian keanggotaan dan pimpinan Komnas HAM
ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib Komnas HAM.
Pasal 87
(1) Setiap anggota Komnas HAM berkewajiban: a.
menaati ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan keputusan
Komnas HAM; b. berpartisipasi secara aktif dan sungguh sungguh untuk
tercapainya tujuan Komnas HAM; dan c. menjaga kerahasiaan keterangan yang
karena sifatnya merupakan rahasia Komnas HAM yang diperoleh berdasarkan
kedudukannya sebagai anggota.
(2) Setiap Anggota Komnas HAM berhak: a.
menyampaikan usulan dan pendapat kepada Sidang Paripurna dan Subkomisi; b.
memberikan suara dalam pengambilan keputusan Sidang Paripurna dan Subkomisi; c.
mengajukan dan memilih calon Ketua dan Wakil Ketua Komnas HAM dalam Sidang
Paripurna; dan *9959 d. mengajukan bakal calon Anggota Komnas HAM dalam Sidang
Paripurna untuk pergantian periodik dan antarwaktu.
Pasal 88
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban dan hak
Anggota Komnas HAM serta tata cara pelaksanaannya ditetapkan dengan Peraturan
Tata Tertib Komnas HAM.
Pasal 89
(1) Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam
pengkajian dan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas HAM
bertugas dan berwenang melakukan:
a. pengkajian dan penelitian berbagai instrumen
internasional hak asasi manusia dengan tujuan memberikan saran-saran mengenai
kemungkinan aksesi dan atau ratifikasi; b. pengkajian dan penelitian berbagai
peraturan perundang-undangan untuk memberikan rekomendasi mengenai pembentukan,
perubahan, dan pencabutan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
hak asasi manusia; c. penerbitan hasil pengkajian dan penelitian; d. studi
kepustakaan, studi lapangan dan studi banding di negara lain mengenai hak asasi
manusia; e. pembahasan berbagai masalah yang berkaitan dengan perlindungan,
penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia; dan f. kerjasama pengkajian dan
penelitian dengan organisasi, lembaga atau pihak lainnya, baik tingkat
nasional, regional, maupun internasional dalam bidang hak asasi manusia.
(2) Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam
penyuluhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas HAM bertugas dan
berwenang melakukan:
a. penyebarluasan wawasan mengenai hak asasi
manusia kepada masyarakat Indonesia; b. upaya peningkatan kesadaran masyarakat
tentang hak asasi manusia melalui lembaga pendidikan formal dan non-formal
serta berbagai kalangan lainnya; dan c. kerjasama dengan organisasi, lembaga
atau pihak lainnya, baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional
dalam bidang hak asasi manusia.
(3) Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam
pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas HAM bertugas dan
berwenang melakukan:
a. pengamatan pelaksanaan hak asasi manusia dan
penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut; b. penyelidikan dan pemeriksaan
terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau
lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia; c. pemanggilan
kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang diadukan untuk dimintai dan
didengar keterangannya; d. pemanggilan saksi untuk diminta dan didengar
kesaksiannya, dan kepada saksi pengadu diminta menyerahkan bukti yang
diperlukan; e. peninjauan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap
perlu; f. pemanggilan terhadap pihak terkait untuk memberikan keterangan secara
tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai *9960 dengan aslinya
dengan persetujuan Ketua Pengadilan; g. pemeriksaan setempat terhadap rumah,
pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki
pihak tertentu dengan persetujuan Ketua Pengadilan; dan h. pemberian pendapat
berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang
dalam proses peradilan, bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran
hak asasi manusia dalam masalah publik dan acara pemeriksaan oleh pengadilan
yang kemudian pendapat Komnas HAM tersebut wajib diberitahukan oleh hakim
kepada para pihak.
(4) Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam
mediasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas HAM bertugas dan berwenang
melakukan:
a. perdamaian kedua belah pihak; b. penyelesaian
perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian
ahli; c. pemberian saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui
pengadilan; d. penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi
manusia kepada Pemerintah untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya; dan e.
penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk ditindaklanjuti.
Pasal 90
(1) Setiap orang dan atau sekelompok orang yang
memiliki alasan kuat bahwa hak asasinya telah dilanggar dapat mengajukan
laporan dan pengaduan lisan atau tertulis pada Komnas HAM.
(2) Pengaduan hanya akan mendapatkan pelayanan
apabila disertai dengan identitas pengadu yang benar dan keterangan atau bukti
awal yang jelas tentang materi yang diadukan.
(3) Dalam hal pengaduan dilakukan oleh pihak lain,
maka pengaduan harus disertai dengan persetujuan dari pihak yang hak asasinya
dilanggar sebagai korban, kecuali untuk pelanggaran hak asasi manusia tertentu
berdasarkan pertimbangan Komnas HAM.
(4) Pengaduan pelanggaran hak asasi manusia
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) meliputi pula pengaduan melalui perwakilan
mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh kelompok masyarakat.
Pasal 91
(1) Pemeriksaan atas pengaduan kepada Komnas HAM
tidak dilakukan atau dihentikan apabila:
a. tidak memiliki bukti awal yang memadai; b.
materi pengaduan bukan masalah pelanggaran hak asasi manusia; c. pengaduan
diajukan dengan itikad buruk atau ternyata tidak ada kesungguhan dari pengadu;
d. terdapat upaya hukum yang lebih efektif bagi penyelesaian materi pengaduan;
atau e. sedang berlangsung penyelesaian melalui upaya hukum yang tersedia
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
*9961 (2) Mekanisme pelaksanaan kewenangan untuk
tidak melakukan atau menghentikan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib Komnas HAM.
Pasal 92
(1) Dalam hal tertentu dan bila dipandang perlu,
guna melindungi kepentingan dan hak asasi yang bersangkutan atau terwujudnya
penyelesaian terhadap masalah yang ada, Komnas HAM dapat menetapkan untuk
merahasiakan identitas pengadu, dan pemberi keterangan atau bukti lainnya serta
pihak yang terkait dengan materi aduan atau pemantauan.
(2) Komnas HAM dapat menetapkan untuk merahasiakan
atau membatasi penyebarluasan suatu keterangan atau bukti lain yang diperoleh
Komnas HAM, yang berkaitan dengan materi pengaduan atau pemantauan.
(3) Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
didasarkan pada pertimbangan bahwa penyebarluasan keterangan atau bukti lainnya
tersebut dapat:
a. membahayakan keamanan dan keselamatan negara; b.
membahayakan keselamatan dan ketertiban umum; c. membahayakan keselamatan
perorangan; d. mencemarkan nama baik perorangan; e. membocorkan rahasia negara
atau hal-hal yang wajib dirahasiakan dalam proses pengambilan keputusan
Pemerintah; f. membocorkan hal-hal yang wajib dirahasiakan dalam proses
penyidikan, penuntutan, dan persidangan suatu perkara pidana; g. menghambat
terwujudnya penyelesaian terhadap masalah yang ada; atau h. membocorkan hal-hal
yang termasuk dalam rahasia dagang.
Pasal 93
Pemeriksaan pelanggaran hak asasi manusia dilakukan
secara tertutup, kecuali ditentukan lain oleh Komnas HAM.
Pasal 94
(1) Pihak pengadu, korban, saksi, dan atau pihak
lainnya yang terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (3) huruf c dan
d, wajib memenuhi permintaan Komnas HAM.
(2) Apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) tidak dipenuhi oleh pihak lain yang bersangkutan, maka bagi mereka
berlaku ketentuan Pasal 95.
Pasal 95
Apabila seseorang yang dipanggil tidak datang
menghadap atau menolak memberikan keterangannya, Komnas HAM dapat meminta
bantuan Ketua Pengadilan untuk pemenuhan panggilan secara paksa sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 96
(1) Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
89 ayat (4) huruf a dan b, dilakukan oleh Anggota Komnas HAM yang ditunjuk
sebagai mediator.
*9962 (2) Penyelesaian yang dicapai sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), berupa kesepakatan secara tertulis dan ditandatangani
oleh para pihak dan dikukuhkan oleh mediator.
(3) Kesepakatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) merupakan keputusan mediasi yang mengikat secara hukum dan berlaku
sebagai alat bukti yang sah.
(4) Apabila keputusan mediasi tidak dilaksanakan
oleh salah satu pihak dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam keputusan
tersebut, maka pihak lainnya dapat memintakan kepada Pengadilan Negeri setempat
agar keputusan tersebut dinyatakan dapat dilaksanakan dengan pembubuhan kalimat
“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
(5) Pengadilan tidak dapat menolak permintaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4).
Pasal 97
Komnas HAM wajib menyampaikan laporan tahunan
tentang pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya, serta kondisi hak asasi
manusia, dan perkara-perkara yang ditanganinya kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia dan Presiden dengan tembusan kepada Mahkamah Agung.
Pasal 98
Anggaran Komnas HAM dibebankan kepada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal 99
Ketentuan dan tata cara pelaksanaan fungsi, tugas,
dan wewenang serta kegiatan Komnas HAM diatur lebih lanjut dalam Peraturan Tata
Tertib Komnas HAM.
BAB VIII PARTISIPASI MASYARAKAT
Pasal 100
Setiap orang, kelompok, organisasi politik,
organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan
lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak
asasi manusia.
Pasal 101
Setiap orang, kelompok, organisasi politik,
organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan
lainnya, berhak menyampaikan laporan atas terjadinya pelanggaran hak asasi
manusia kepada Komnas HAM atau lembaga lain yang berwenang dalam rangka
perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia.
Pasal 102
Setiap orang, kelompok, organisasi politik,
organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan
lainnya, berhak untuk mengajukan usulan mengenai perumusan dan kebijakan yang
berkaitan dengan hak asasi manusia kepada Komnas HAM dan atau lembaga lainnya.
*9963 Pasal 103
Setiap orang, kelompok, organisasi politik,
organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, lembaga
studi, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, baik secara sendiri-sendiri maupun
bekerja sama dengan Komnas HAM dapat melakukan penelitian, pendidikan, dan
penyebarluasan informasi mengenai hak asasi manusia.
BAB IX PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA
Pasal 104
(1) Untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia
yang berat dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan Peradilan Umum.
(2) Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dibentuk dengan undang-undang dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun.
(3) Sebelum terbentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka kasus-kasus pelanggaran hak asasi
manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diadili oleh pengadilan yang
berwenang.
BAB X KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 105
(1) Segala ketentuan mengenai hak asasi manusia
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain dinyatakan tetap berlaku
sepanjang tidak diatur dengan Undang-undang ini.
(2) Pada saat berlakunya Undang-undang ini:
a. Komnas HAM yang dibentuk berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
dinyatakan sebagai Komnas HAM menurut Undang-undang ini; b. Ketua, Wakil Ketua,
dan Anggota Komnas HAM masih tetap menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya,
berdasarkan Undang-undang ini sampai ditetapkannya keanggotaan Komnas HAM yang
baru; dan c. semua permasalahan yang sedang ditangani oleh Komnas HAM tetap
dilanjutkan penyelesaiannya berdasarkan Undang-undang ini.
(3) Dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak
berlakunya Undang-undang ini susunan organisasi, keanggotaan, tugas dan
wewenang serta tata tertib Komnas HAM harus disesuaikan dengan Undang-undang
ini.
BAB XI KETENTUAN PENUTUP
Pasal 106
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
*9964 Disahkan di Jakarta pada tanggal 23 September
1999 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 23 September
1999 MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd MULADI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR
165
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA
I. UMUM Bahwa manusia dianugerahi oleh Tuhan Yang
Maha Esa akal budi dan nurani yang memberikan kepadanya kemampuan untuk
membedakan yang baik dan yang buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap
dan perilaku dalam menjalani kehidupannya. Dengan akal budi dan nuraninya itu,
maka manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau
perbuatannya. Di samping itu, untuk mengimbangi kebebasan tersebut manusia
memiliki kemampuan untuk bertanggung jawab atas semua tindakan yang
dilakukannya. Kebebasan dasar dan hak-hak dasar itulah yang disebut hak asasi
manusia yang melekat pada manusia secara kodrati sebagai anugerah Tuhan Yang
Maha Esa. Hak-hak ini tidak dapat diingkari. Pengingkaran terhadap hak tersebut
berarti mengingkari martabat kemanusiaan. Oleh karena itu, negara, pemerintah,
atau organisasi apapun mengemban kewajiban untuk mengakui dan melindungi hak
asasi manusia pada setiap manusia tanpa kecuali. Ini berarti bahwa hak asasi
manusia harus selalu menjadi titik tolak dan tujuan dalam penyelenggaraan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sejalan dengan pandangan di atas, Pancasila sebagai
dasar negara mengandung pemikiran bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha
Esa dengan menyandang dua aspek yakni, aspek individualitas (pribadi) dan aspek
sosialitas (bermasyarakat). Oleh karena itu, kebebasan setiap orang dibatasi
oleh hak asasi orang lain. Ini berarti bahwa setiap orang mengemban kewajiban
mengakui dan menghormati hak asasi orang lain. Kewajiban ini juga berlaku bagi
setiap organisasi pada tataran manapun, terutama negara dan pemerintah. Dengan
demikian, negara dan pemerintah bertanggung jawab untuk menghormati,
melindungi, membela, dan menjamin hak asasi manusia setiap warga negara dan
penduduknya tanpa diskriminasi. Kewajiban menghormati hak asasi manusia
tersebut, tercermin dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjiwai
keseluruhan pasal dalam batang tubuhnya, terutama berkaitan dengan persamaan
kedudukan *9965 warga negara dalam hukum dan pemerintahan, hak atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, hak untuk
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, kebebasan memeluk agama dan
untuk beribadat sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu, hak untuk
memperoleh pendidikan dan pengajaran. Sejarah bangsa Indonesia hingga kini
mencatat berbagai penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan sosial, yang
disebabkan oleh perilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar etnik, ras,
warna kulit, budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin dan status sosial
lainnya. Perilaku tidak adil dan diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran
hak asasi manusia, baik yang bersifat vertikal (dilakukan oleh aparat negara
terhadap warga negara atau sebaliknya) maupun horizontal (antarwarga negara
sendiri) dan tidak sedikit yang masuk dalam kategori pelanggaran hak asasi
manusia yang berat (gross violation of human rights).
Pada kenyataannya selama lebih lima puluh tahun
usia Republik Indonesia, pelaksanaan penghormatan, perlindungan, atau penegakan
hak asasi manusia masih jauh dari memuaskan. Hal tersebut tercermin dari
kejadian berupa penangkapan yang tidak sah, penculikan, penganiayaan,
perkosaan, penghilangan paksa, bahkan pembunuhan, pembakaran rumah tinggal dan
tempat ibadah, penyerangan pemuka agama beserta keluarganya. Selain itu,
terjadi pula penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik dan aparat negara
yang seharusnya menjadi penegak hukum, pemelihara keamanan, dan pelindung
rakyat, tetapi justru mengintimidasi, menganiaya, menghilangkan paksa dan/atau
menghilangkan nyawa. Untuk melaksanakan kewajiban yang diatur dalam
Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia menugaskan kepada Lembaga-lembaga
Tinggi Negara dan seluruh Aparatur Pemerintah, untuk menghormati, menegakkan
dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh
masyarakat, serta segera meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hak Asasi Manusia, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Di samping kedua sumber hukum di atas, pengaturan
mengenai hak asasi manusia pada dasarnya sudah tercantum dalam berbagai
peraturan perundang-undangan, termasuk undang-undang yang mengesahkan berbagai
konvensi internasional mengenai hak asasi manusia. Namun untuk memayungi
seluruh peraturan perundang-undangan yang sudah ada, perlu dibentuk
Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia.
Dasar pemikiran pembentukan Undang-undang ini
adalah sebagai berikut:
a. Tuhan Yang Maha Esa adalah pencipta alam semesta
dengan segala isinya; b. pada dasarnya, manusia dianugerahi jiwa, bentuk,
struktur, kemampuan, kemauan serta berbagai kemudahan oleh Penciptanya, untuk
menjamin kelanjutan hidupnya; c. untuk melindungi, mempertahankan, dan
meningkatkan martabat manusia, diperlukan pengakuan dan perlindungan hak asasi
manusia, karena tanpa hal tersebut manusia akan kehilangan sifat dan
martabatnya, sehingga dapat mendorong manusia menjadi serigala bagi manusia
lainnya (homo homini lupus); d. karena manusia merupakan makhluk sosial, maka
hak asasi manusia yang satu dibatasi oleh hak asasi manusia yang lain, sehingga
kebebasan atau hak asasi manusia bukanlah tanpa batas; *9966 e. hak asasi
manusia tidak boleh dilenyapkan oleh siapapun dan dalam keadaan apapun; f.
setiap hak asasi manusia mengandung kewajiban untuk menghormati hak asasi
manusia orang lain, sehingga di dalam hak asasi manusia terdapat kewajiban
dasar; g. hak asasi manusia harus benar-benar dihormati, dilindungi, dan
ditegakkan, dan untuk itu pemerintah, aparatur negara, dan pejabat publik
lainnya mempunyai kewajiban dan tanggung jawab menjamin terselenggaranya
penghormatan, perlindungan, dan penegakan hak asasi manusia. Dalam
Undang-undang ini, pengaturan mengenai hak asasi manusia ditentukan dengan
berpedoman pada Deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa,
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Wanita, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Hak-hak Anak, dan berbagai instrumen internasional lain yang mengatur mengenai
hak asasi manusia. Materi Undang-undang ini disesuaikan juga dengan kebutuhan
hukum masyarakat dan pembangunan hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Undang-undang ini secara rinci mengatur mengenai hak
untuk hidup dan hak untuk tidak dihilangkan paksa dan/atau tidak dihilangkan
nyawa, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak
memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas
kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita, hak anak, dan
hak atas kebebasan beragama. Selain mengatur hak asasi manusia, diatur pula
mengenai kewajiban dasar, serta tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam
penegakan hak asasi manusia. Di samping itu, Undang-undang ini mengatur
mengenai Pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebagai lembaga mandiri
yang mempunyai fungsi, tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melaksanakan
pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang hak asasi
manusia. Dalam Undang-undang ini, diatur pula tentang partisipasi masyarakat
berupa pengaduan dan/atau gugatan atas pelanggaran hak asasi manusia, pengajuan
usulan mengenai perumusan kebijakan yang berkaitan dengan hak asasi manusia
kepada Komnas HAM, penelitian, pendidikan, dan penyebarluasan informasi
mengenai hak asasi manusia.
Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia ini adalah
merupakan payung dari seluruh peraturan perundang-undangan tentang hak asasi
manusia. Oleh karena itu, pelanggaran baik langsung maupun tidak langsung atas
hak asasi manusia dikenakan sanksi pidana, perdata, dan atau administratif
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia tidak
dapat dilepaskan dari manusia pribadi karena tanpa hak asasi manusia dan
kebebasan dasar manusia yang bersangkutan kehilangan harkat dan martabat
kemanusiaannya. Oleh karena itu, negara Republik Indonesia termasuk Pemerintah
berkewajiban, baik secara hukum maupun secara politik, ekonomi, sosial dan
moral, untuk melindungi dan memajukan serta *9967 mengambil langkah-langkah
konkret demi tegaknya hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Yang dimaksud dengan “dalam keadaan apapun”
termasuk keadaan perang, sengketa bersenjata, dan atau keadaan darurat. Yang
dimaksud dengan “siapapun” adalah Negara, Pemerintah dan atau anggota
masyarakat. Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat
dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang
digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pasal 5
Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “kelompok masyarakat yang rentan” antara lain adalah orang
lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat.
Pasal 6
Ayat (1) Hak adat yang secara nyata masih berlaku
dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati
dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakan hak asasi manusia dalam
masyarakat yang bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan peraturan
perundang-undangan. Ayat (2) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia,
identitas budaya nasional masyarakat hukum adat, hak-hak adat yang masih secara
nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat, tetap dihormati dan
dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas negara hukum yang
berintikan keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Pasal 7
Yang dimaksud dengan “upaya hukum” adalah jalan
yang dapat ditempuh oleh setiap orang atau kelompok orang untuk membela dan
memulihkan hak-haknya yang disediakan oleh hukum Indonesia seperti misalnya,
oleh Komnas HAM atau oleh pengadilan, termasuk upaya untuk naik banding ke
Pengadilan Tinggi, mengajukan kasasi dan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung
terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding. Dalam Pasal
ini dimaksudkan bahwa mereka yang ingin menegakkan hak asasi manusia dan
kebebasan dasarnya diwajibkan untuk menempuh semua upaya hukum tersebut pada
tingkat nasional terlebih dahulu (exhaustion of local remedies) sebelum
menggunakan forum baik di tingkat regional maupun internasional, kecuali bila
tidak mendapatkan tanggapan dari forum hukum nasional.
Pasal 8
Yang dimaksud dengan “perlindungan” adalah termasuk
pembelaan hak asasi manusia.
Pasal 9
Ayat (1) *9968 Setiap orang berhak atas kehidupan,
mempertahankan kehidupan, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Hak atas
kehidupan ini bahkan juga melekat pada bayi yang belum lahir atau orang yang
terpidana mati. Dalam hal atau keadaan yang sangat luar biasa yaitu demi
kepentingan hidup ibunya dalam kasus aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan
dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal dan
atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan. Hanya pada dua hal tersebut
itulah hak untuk hidup dapat dibatasi. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup
jelas
Pasal 10
Ayat (1) Yang dimaksud dengan “perkawinan yang sah”
adalah perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “kehendak bebas” adalah
kehendak yang lahir dari niat yang suci tanpa paksaan, penipuan, atau tekanan
apapun dan dari siapapun terhadap calon suami dan atau calon isteri.
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1) Yang dimaksud dengan “seluruh harta
kekayaan milik yang bersalah” adalah harta yang bukan berasal dari pelanggaran
atau kejahatan. Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
*9969 Pasal 21 Yang dimaksud dengan “menjadi objek
penelitian” adalah kegiatan menempatkan seseorang sebagai pihak yang dimintai
komentar, pendapat atau keterangan yang menyangkut kehidupan pribadi dan
data-data pribadinya serta direkam gambar dan suaranya.
Pasal 22
Ayat (1) Yang dimaksud dengan “hak untuk bebas
memeluk agamanya dan kepercayaannya” adalah hak setiap orang untuk beragama
menurut keyakinannya sendiri, tanpa adanya paksaan dari siapapun juga. Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang menentukan suatu
perbuatan termasuk kejahatan politik atau nonpolitik adalah negara yang
menerima pencari suaka.
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Ayat (1) Yang dimaksud dengan “tidak boleh
diganggu” adalah hak yang berkaitan dengan kehidupan pribadi (privacy) di dalam
tempat kediamannya. Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan
“penghilangan paksa” dalam ayat ini adalah tindakan yang dilakukan oleh
siapapun yang menyebabkan seseorang tidak diketahui keberadaan dan keadaannya.
*9970 Sedangkan yang dimaksud dengan “penghilangan nyawa” adalah pembunuhan
yang dilakukan sewenang-wenang tidak berdasarkan putusan pengadilan.
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “hak milik mempunyai fungsi sosial” adalah bahwa setiap
penggunaan hak milik harus memperhatikan kepentingan umum. Apabila kepentingan
umum menghendaki atau membutuhkan benar-benar maka hak milik dapat dicabut
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Yang dimaksud dengan “tidak boleh dihambat” adalah
bahwa setiap orang atau pekerja tidak dapat dipaksa untuk menjadi anggota atau
untuk tidak menjadi anggota dari suatu serikat pekerja.
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Ayat (1) Yang dimaksud dengan “berhak atas jaminan
sosial” adalah bahwa setiap warga negara mendapat jaminan sosial sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan kemampuan negara. Ayat (2) Yang
dimaksud dengan “kemudahan dan perlakuan khusus” adalah pemberian pelayanan,
jasa, atau penyediaan fasilitas dan sarana demi kelancaran, keamanan,
kesehatan, dan keselamatan.
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
*9971 Yang dimaksud dengan “keterwakilan wanita”
adalah pemberian kesempatan dan kedudukan yang sama bagi wanita untuk
melaksanakan peranannya dalam bidang eksekutif, yudikatif, legislatif,
kepartaian, dan pemilihan umum menuju keadilan dan kesetaraan jender.
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan
“perlindungan khusus terhadap fungsi reproduksi” adalah pelayanan kesehatan
yang berkaitan dengan haid, hamil, melahirkan, dan pemberian kesempatan untuk
menyusui anak. Ayat (3) Cukup jelas
Pasal 50
Yang dimaksud dengan “melakukan perbuatan hukum
sendiri” adalah cakap menurut hukum untuk melakukan perbuatan hukum, dan bagi
wanita beragama Islam yang sudah dewasa, untuk menikah diwajibkan menggunakan
wali.
Pasal 51
Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan
“tanggung jawab yang sama” adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada kedua
orang tua dalam hal pendidikan, biaya hidup, kasih sayang, serta pembinaan masa
depan yang baik bagi anak. Yang dimaksud dengan “Kepentingan terbaik bagi anak”
adalah sesuai dengan hak anak sebagaimana tercantum dalam Konvensi Hak Anak
yang telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang
Pengesahan Convention on The Rights of The Child (Konvensi tentang Hak Anak).
Ayat (3) Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan
“suatu nama” adalah nama sendiri, dan nama orang tua kandung, dan atau nama
keluarga, dan atau nama marga.
Pasal 54
Pelaksanaan hak anak yang cacat fisik dan atau
mental atas biaya negara diutamakan bagi kalangan yang tidak mampu.
Pasal 55
*9972 Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Pasal ini berkaitan dengan perceraian orang tua
anak, atau dalam hal kematian salah seorang dari orang tuanya, atau dalam hal
kuasa asuh orang tua dicabut, atau bila anak disiksa atau tidak dilindungi atau
ketidakmampuan orang tuanya.
Pasal 60
Ayat (1) Pendidikan dalam ayat ini mencakup
pendidikan tata krama dan budi pekerti. Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika,
dan zat adiktif lainnya mencakup kegiatan produksi, peredaran, dan perdagangan
sampai dengan penggunaannya yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 66
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Cukup jelas
*9973 Pasal 72 Cukup jelas
Pasal 73
Pembatasan yang dimaksud dalam Pasal ini tidak
berlaku terhadap hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi (non-derogable
rights) dengan memperhatikan Penjelasan Pasal 4 dan Pasal 9. Yang dimaksud
dengan “kepentingan bangsa” adalah untuk keutuhan bangsa dan bukan merupakan
kepentingan penguasa.
Pasal 74
Ketentuan dalam Pasal ini menegaskan bahwa siapapun
tidak dibenarkan mengambil keuntungan sepihak dan atau mendatangkan kerugian
pihak lain dalam mengartikan ketentuan dalam Undang-undang ini, sehingga
mengakibatkan berkurangnya dan atau hapusnya hak asasi manusia yang dijamin
oleh Undang-undang ini.
Pasal 75
Cukup jelas
Pasal 76
Cukup jelas
Pasal 77
Cukup jelas
Pasal 78
Cukup jelas
Pasal 79
Cukup jelas
Pasal 80
Cukup jelas
Pasal 81
Cukup jelas
Pasal 82
Cukup jelas
Pasal 83
Ayat (1) Yang dimaksud dengan “diresmikan oleh
Presiden” adalah dalam bentuk Keputusan Presiden. Peresmian oleh Presiden
dikaitkan dengan kemandirian Komnas HAM. Usulan Komnas HAM yang dimaksud, harus
menampung seluruh aspirasi dari berbagai lapisan masyarakat sesuai dengan
syarat-syarat yang ditetapkan, yang jumlahnya paling banyak 70 (tujuh puluh)
orang. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas
Pasal 84
Cukup jelas
*9974 Pasal 85 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf
a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf
e Keputusan tentang pemberhentian dilakukan dengan pemberitahuan terlebih
dahulu kepada yang bersangkutan dan diberikan hak untuk membela diri dalam
Sidang Paripurna yang diadakan khusus untuk itu.
Pasal 86
Cukup jelas
Pasal 87
Cukup jelas
Pasal 88
Cukup jelas
Pasal 89
Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3)
Huruf a Cukup jelas Huruf b Yang dimaksud dengan “penyelidikan dan pemeriksaan”
dalam rangka pemantauan adalah kegiatan pencarian data, informasi, dan fakta
untuk mengetahui ada atau tidaknya pelanggaran hak asasi manusia. Huruf c Cukup
jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Huruf f Cukup jelas Huruf g Cukup
jelas Huruf h Yang dimaksud dengan “pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah
publik” antara lain mengenai pertanahan, ketenagakerjaan, dan lingkungan hidup.
Ayat (4) Huruf a Cukup jelas Huruf b Yang dimaksud dengan “mediasi” adalah
penyelesaian perkara perdata di luar pengadilan, atas dasar *9975 kesepakatan
para pihak. Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas
Pasal 90
Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3)
Cukup jelas Ayat (4) Yang dimaksud dengan “pengaduan melalui perwakilan” adalah
pengaduan yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok untuk bertindak mewakili
masyarakat tertentu yang dilanggar hak asasinya dan atau atas dasar kesamaan
kepentingan hukumnya.
Pasal 91
Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas
Huruf c Yang dimaksud dengan “itikad buruk” adalah perbuatan yang mengandung
maksud dan tujuan yang tidak baik, misalnya pengaduan yang disertai data palsu
atau keterangan tidak benar, dan atau ditujukan semata-mata untuk mengakibatkan
pencemaran nama baik perorangan, keresahan kelompok, dan atau masyarakat. Yang
dimaksud dengan “tidak ada kesungguhan” adalah bahwa pengadu benar-benar tidak
bermaksud menyelesaikan sengketanya, misalnya pengadu telah 3 (tiga) kali
dipanggil tidak datang tanpa alasan yang sah. Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup
jelas Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 92
Cukup jelas
Pasal 93
Cukup jelas
Pasal 94
Cukup jelas
Pasal 95
Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan
perundang-undangan” dalam Pasal ini adalah ketentuan Pasal 140 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 141 ayat (1) Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB) atau
Pasal 167 ayat (1) Reglemen Luar Jawa dan Madura.
*9976 Pasal 96 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup
jelas Ayat (3) Lembar keputusan asli atau salinan otentik keputusan mediasi
diserahkan dan didaftarkan oleh mediator kepada Panitera Pengadilan Negeri.
Ayat (4) Permintaan terhadap keputusan yang dapat dilaksanakan (fiat eksekusi)
kepada Pengadilan Negeri dilakukan melalui Komnas HAM. Apabila pihak yang bersangkutan
tetap tidak melaksanakan keputusan yang telah dinyatakan dapat dilaksanakan
oleh pengadilan, maka pengadilan wajib melaksanakan keputusan tersebut.
Terhadap pihak ketiga yang merasa dirugikan oleh keputusan ini, maka pihak
ketiga tersebut masih dimungkinkan mengajukan gugatan melalui pengadilan. Ayat
(5) Cukup jelas
Pasal 97
Cukup jelas
Pasal 98
Cukup jelas
Pasal 99
Cukup jelas
Pasal 100
Cukup jelas
Pasal 101
Cukup jelas
Pasal 102
Cukup jelas
Pasal 103
Cukup jelas
Pasal 104
Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pelanggaran hak
asasi manusia yang berat” adalah pembunuhan massal (genocide), pembunuhan
sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial
killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau
diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination). Ayat
(2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan “pengadilan yang berwenang”
meliputi empat lingkungan peradilan sesuai dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999.
*9977 Pasal 105 Cukup jelas
Pasal 106
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
3886
0 komentar:
Posting Komentar