http://www.emocutez.com http://www.emocutez.com http://www.emocutez.com http://www.emocutez.com

Konvensi PBB vs UU no.39 tahun 1999

Konvensi PBB vs UU no.39 tahun 1999

Jadi menurut pendapat saya sendiri setelah membandingkan antara HAM yang di sepakati oleh PBB dengan UU No.39 tahun 1999 yaitu dalam UU No.39 tahun 1999 sudah mencakup dari keseluruhan dari ke empat kesepakatan yang di tetapkan oleh PBB seperti hak tentang penyiksaan & perlakuan kejam , hak anak, perlindungan pekerja migran serta hak diskriminasi perempuan semuanya tercantum dalam Undang –Undang yang terdapat lebih dari 100 pasal tersebut.

Namun kesepakatan – kesepakatan yang dikeluarkan oleh PBB juga sangat baik karena spesialisasi tiap konvensi menjadikan kesepakatan tersebut menjadi lebih kompleks dan lebih spesifik di bandingkan dengan yang terdapat pada Undang – Undang namun kekurangannya adalah bila anggota komite tidak setuju dengan kesepakatan tersebut maka konvensi – konvensi tersebut tidak dapat disetujui. Salah satunya adalah Amerika, dulu Amerika tidak menyetujui untuk menandatangani Konvensi pelarangan penimbunan ranjau di karenakan Amerika memproduksi ranjau yang kapasitas nya sangat besar sehingga bila konvensi tersebut disetujui Amerika akan mendapatkan banyak sekali kerugian.

Undang – Undang kita sudah mutlak adanya walaupun masih bisa di hapus maupun di revisi namun pada daftar UU di atas sudah sangat jelas bahwa Undang – Undang kita sudah cukup kokoh untuk melindungi HAM walaupun konvensi PBB tersebut tidak ada. Namun itu berlaku pada negara kita saja dan bebrapa negara lainnya namun pada sebagian negara keputusan – keputusan PBB tersebut sangat di nantikan untuk kelangsungan negara mereka serta mendapatkan ketentraman dalam menjalani hidup di negara mereka untuk melindungi HAM .

Berikut adalah keterangan mengenai konvensi PBB dan UU No.39 tahun 1999 :



Historisitas dan Ratifikasi Konvensi Menentang penyiksaan (1984)

Perlindungan terhadap hak-hak sipil dan politik, khususnya dalam hal perlindungan dari penyiksaan dan kekejaman yang dilakukan negara, merupakan wacana klasik dalam terminologi HAM. Sebelum masa 1975, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) selalu mendasarkan argumen bahwa Deklarasi Universal mengenai HAM (Universal Declaration of Human Right) telah mencukupi untuk dilakukannya upaya-upaya perlindungan, terutama dalam Pasal 5 yang menyatakan bahwa “Tidak ada orang yang menjadi sasaran penyiksaan atau kekejaman, tidak manusiawi atau Perlakuan atau Penghukuman yang Merendahkan Martabat Manusia” (No one shall be subjected to torture or cruel, inhuman or degrading treatment or punishment).

Ternyata disadari bahwa ketentuan tersebut tidak cukup melindungi masyarakat dari penyiksaan yang dilakukan oleh negara. Hak untuk bebas dari penyiksaan adalah hak aksiomatik manusia, dimana hak tersebut dianugerahkan Tuhan kepada manusia sejak lahir dan tidak ada pihak lain yang berhak atau berwenang menguranginya (non-derogable right).

Dengan asumsi tersebut, Majelis Umum PBB pada tanggal 9 Desember 1975 menghasilkan suatu “Deklarasi tentang Perlindungan terhadap Setiap Orang dari Penyiksaan dan Kekejaman Lainnya, Tidak Manusiawi atau Perlakuan atau Penghukuman yang Merendahkan Martabat Manusia” (Declaration on the Protection of all Person from Being Subjected to Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment).

Dalam kenyataannya, instrumen PBB ini tidak mempunyai kekuatan yang mengikat secara hukum. Dengan kata lain, Deklarasi sebagai sebuah instrumen yang dikeluarkan PBB tidak mempunyai daya ikat secara yuridis bagi para anggotanya karena memang pada dasarnya deklarasi ini dikeluarkan berfungsi tidak lebih dari sekedarPengumuman Resmi. Maka pada tanggal 10 Desember 1984, dalam putaran sidang Majelis Umum PBB diadakan konsensus terhadap rancangan Konvensi Menentang Penyiksaan yang pada akhirnya berlaku efektif per 26 Juni 1987.

Satu hal yang menarik bahwa Indonesia telah menandatangani Konvensi Menentang Penyiksaan ini pada tanggal 23 Oktober 1985. Tetapi entah apapun alasannya, pemerintah saat itu tidak serta merta meratifikasinya dalam undang-undang. Selama bertahun-tahun penandatangan konvensi tersebut tidak diefektifasi sehingga dianggap tidak mengikat Indonesia untuk mengimplementasikannya. Asumsi ini sedikit banyak mengandung kontradiksi karena menurut pendapat hukum, hak manusia untuk terbebas dari penyiksaan termasuk pada kategori ius cogens,  norma yang telah dianggap aksioma oleh komunitas internasional, tidak dapat dicabut dan tidak mempunyai perkecualian ataupun waiver.

Pendapat tersebut tampaknya telah diabaikan oleh pemerintah orde baru. Kuatnya dominasi terhadap masyarakat, menjadikan pemerintah seolah-olah lembaga yang superordinat terhadap lembaga lain. Sebagaimana diketahui, pada periode 1980-an pemerintah nyaris tidak mempunyai lembaga yang beroposisi binner secara hukum terhadapnya. Adalah sangat biasa dikemukakan pada saat itu bahwa lembaga internasional tidak dapat melakukan intervensi terhadap persoalan-persoalan internal. Bahkan terhadap kasus yang memiliki dimensi internasional pun, misalnya terhadap separatisme, negara selalu mempersepsikan bahwa hal tersebut adalah persoalan internal.

Persepsi-persepsi negara ini pada saatnya mengalami kejenuhan hingga jatuhnya kekuasaan pemerintahan orde baru. Akumulasi kekecewaan dan sejarah penindasan masyarakat dalam skala yang sangat tinggi telah memaksa kejatuhan pemerintah dan digantikan oleh pemerintah yang cenderung akomodatif.

Tuntutan masyarakat atas hak-hak sipil dan politik serta heterogenitas persoalan yang terjadi di Indonesia, menuntut negara untuk lebih bertanggung jawab dalam pemajuan dan perlindungan HAM. DPR RI, sebagai lembaga yang mempunyai hak inisiatif, telah mengajukan usul Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau merendahkan Martabat Manusia. Pada akhirnya Konvensi Menentang Penyiksaan ini diratifikasi pada tanggal 28 September 1998 menjadi Undang-Undang No.5 Tahun 1998.
           
Sebagai sebuah realitas hukum, ratifikasi tersebut membebankan tanggung jawab kepada negara, sebagai Negara Pihak, untuk menjadikan dan memperlakukan instrumen hukum internasional sebagai hukum positif. Dengan demikian berarti, negara juga bertanggung jawab terhadap efektifitas hukum tersebut dan tidak ada alasan lain kecuali mengimplementasikannya dalam tataran empiris. 

Substansi Konvensi dan Impelementasinya di Indonesia 
Konvensi menentang Penyiksaan dibagi ke dalam 3 Bab dan 33 Pasal. Bab I (Pasal 1 s.d. 16) memuat ketentuan yang mengatur mengenai definisi-definisi dan kewajiban Negara Pihak untuk mencegah dan melarang terjadinya penyiksaan dan pelakuan atau penghukuman lain yang sifatnya kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia. Dalam Pasal 1 Konvensi disebutkan bahwa Penyiksaan adalah segala tindakan yang menimbulkan kesakitan atau penderitaan yang hebat baik jasmani maupun rohani secara terus menerus pada seseorang untuk tujuan-tujuan tertentu seperti mendapatkan informasi atau pengakuan dari seseorang yang bersangkutan atau pihak ketiga, menghukumnya atas perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan seseorang tersebut atau pihak ketiga atau mengintimidasi atau memaksa seseorang tersebut atau pihak ketiga, atau untuk alasan apapun yang didasarkan pada segala jenis diskriminasi apabila kesakitan atau penderitaan yang hebat tersebut ditimpakan oleh, atau atas hasutan, atau dengan persetujuan, atau dibiarkan oleh seorang pejabat atau aparat pemerintahan.

Berdasarkan bunyi Pasal 1 di atas, jelaslah bahwa ruang lingkup pihak yang dibebani tanggung jawab menurut Konvensi ini adalah pejabat atau aparat pemerintahan, sebagai pihak yang memegang kekuasaan secara formal. A contrario, pihak-pihak yang bukan pejabat atau aparat pemerintahan (warga sipil) yang mengakibatkan penyiksaan atau penderitaan kepada orang lain bukanlah pihak yang dibebani tanggung jawab menurut konvensi ini.

Ketentuan tersebut adalah logis karena setiap tindakan penyiksaan atau yang mengakibatkan penderitaan kepada orang lain, dapat dikategorikan sebagai tindak pidana (ordinary crimes) yang secara yuridis telah tercakup sebagai delik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Dalam prakteknya, ketentuan tersebut akan cukup menyulitkan karena bagi aparat pemerintahan yang melakukan tindakan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Konvensi, berlaku dua norma, yakni (i) hukum internasional sebagaimana ditentukan dalam Konvensi Menentang Penyiksaan; dan (ii) KUHP. Pertanyaannya, Hukum apa yang berlaku bagi tindak kejahatan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat pemerintahan, Konvensi Menentang Penyiksaan ataukah KUHP? Dan sampai saat ini belum pernah ada aparat pemerintahan yang dihukum menurut ketentuan dalam konvensi tersebut.

Kesulitan lainnya adalah mengenai prinsip personalitas yang dianut oleh KUHP vide Pasal 5 KUHP dimana pada intinya menyebutkan bahwa KUHP berlaku bagi Warga negara Indonesia (WNI) yang melakukan tindak pidana di luar wilayah Indonesia atau bagi Warga Negara Asing (WNA) yang setelah melakukan tindak pidana di luar wilayah Indonesia mengganti kewarganegaraannya menjadi WNI.

Ketentuan ini jelas akan menyulitkan bagi dilaksanakannya Konvensi, khususnya apabila terdapat aparat pemerintahan Republik Indonesia yang melakukan tindakan penyiksaan di luar negeri.

Hal lainnya yang cukup menyulitkan adalah mengenai “Penyertaan” (Declaration) negara terhadap Pasal 20 Konvensi (tercakup dalam Bab II Konvensi yang mengatur mengenai Komite Menentang Penyiksaan dan tugas serta kewenangannya dalam melakukan pemantauan atas pelaksanaan Konvensi). Dalam Pasal 4 jo. Penjelasan UU No.5 Tahun 1998 jo. Lampirannya disebutkan bahwa Ketentuan Pasal 20 ayat (1), (2) dan (3) Konvensi akan dilaksanakan dengan memenuhi prinsip-prinsip kedaulatan dan keutuhan wilayah suatu Negara. Walaupun dinyatakan bahwa “Penyertaan” ini tidak mengikat secara hukum, namun tetap saja bahwa hal tersebut mengandung perkecualian secara halus (eufimisme). Klausul yang menyebutkan mengenai kedaulatan dan keutuhan wilayahmempunyai makna heterogen, dan sulit dijabarkan. Secara implisit berarti bahwa apabila Konvensi ini melanggar kedaulatan nasional dan keutuhan wilayah maka Negara Pihak tidak berkewajiban melaksanakan materi Konvensi tersebut.

Selanjutnya adalah mengenai “Persyaratan” (Reservation) Indonesia terhadap Pasal 30 ayat (1) Konvensi (tercakup dalam Bab III yang mengatur mengenai hal-hal yang berkaitan dengan mulai efektifnya Konvensi, perubahan, persyaratan, ratifikasi, aksesi, pengunduran diri serta mekanisme penyelesaian perselisihan antar negara pihak). “Persyaratan” ini diajukan dengan alasan bahwa Indonesia tidak menganut asas yurisdiksi yang mengikat secara otomatis (compulsory jurisdiction) dari Mahkamah Internasional (International Court of Justice). Artinya Indonesia hanya akan terikat pada pengajuan penyelesaian suatu perselisihan di antara Negara Pihak kepada Mahkamah Internasional apabila terdapat pengakuan secara yuridis --artinya perlu perangkat hukum tersendiri untuk mengaturnya berdasarkan kesepakatan para pihak-- bahwa Mahkamah Internasional tersebut mengikat bagi Indonesia. Dengan demikian berarti tanpa adanya kesepakatan maka tidak mungkin dilakukan penyidikan internasional (international inquiry).

Dalam hal lain yang patut diefektifkan adalah keberadaannya Komite Anti Penyiksaan yang akan mengawasi jalannya pelaksanaan Konvensi vide Pasal 17 Konvensi. Secara prosedural disebutkan bahwa setiap Negara Pihak --melalui Sekjen PBB-- wajib menyerahkan laporan mengenai langkah-langkah yang diambil oleh Negara Pihak yang bersangkutan untuk mewujudkan upaya-upayanya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Konvensi.

Apabila Indonesia, sebagai Negara Pihak, konsisten menjalankan prosedur-prosedur yang tertuang dalam Konvensi maka niscaya di sana-sini banyak terdapat perubahan atau amandemen terhadap peraturan perundang-undangan yang banyak mengundang protes karena dianggap melanggar HAM. Kenyataannya, setelah tiga tahun sejak ratifikasi Konvensi tersebut, hukum-hukum yang secara signifikan dianggap mengandung pelanggaran HAM hanya sedikit yang diubah atau diamandemen; tidak termasuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang di dalamnya tidak menyebutkan sanksi terhadap aparat pemerintah, khususnya penyidik, yang melakukan penyiksaan dalam proses penyidikannya. 

Hak Anak (1989)

Konvensi Hak Anak (KHA) Perserikatan Bangsa-Bangsa 1989 merupakan perjanjian yang mengikat secara yuridis dan politis di antara berbagai Negara yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan hak anak. Hak anak yang dimaksud adalah hak asasi manusia untuk anak.
Indonesia meratifikasi KHA dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 pada tanggal 25 Agustus 1990. Meskipun demikian, Indonesia tidak menerima seluruh Pasal KHA (total 54 Pasal). Tujuh Pasal kunci yang direservasi oleh Indonesia, yaitu Pasal 1 (Definisi), Pasal 14 (hak anak atas kemerdekaan berpikir, berkeyakinan dan beragama), Pasal 16 (hak privasi), Pasal 17 (hak anak mendapatkan informasi layak anak), Pasal 21 (Adopsi), Pasal 22 (Pengungsi Anak), dan Pasal 29 (tujuan pendidikan).  Ketujuh Pasal ini ditarik oleh Indonesia (Hasan Wirayuda/Menlu Kabinet Indonesia Bersatu Pertama/Kabinet SBY-JK) pada tanggal 11 Januari 2005.
Dengan diratifikasinya KHA oleh Indonesia, telah memberi warna pada berbagai kebijakan dan ketentuan terkait dengan anak. Pertama, Adanya penambahan Pasal 28B ayat (2) pada Undang-Undang Dasar 1945 pada Amandemen Kedua, yaitu “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan anak dari kekerasan dan diskriminasi.” Kedua, Presiden RepublikIndonesia bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang inilah secara keseluruhan menjamin, menghargai, dan melindungi hak anak. Ketiga,Pemerintah Indonesia membentuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sebagai lembaga koordinasi dan advokasi perlindungan anak di Indonesia. Kementerian ini bertugas menyusun Rencana Aksi Nasional Pembangunan di Bidang Anak. Dan terakhir,Indonesia membentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sebagai lembaga independen untuk menjamin, menghargai, dan melindungi hak-hak anak sebagaimana yang diatur dalam ketentuan dan prinsip dasar KHA. Lembaga ini secara bersama-sama bekerjasama dengan Komisi Hak Asasi Manusia dan Komisi Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak dalam rangka menjamin, menghargai, dan melindungi hak anak, khususnya anak yang terlibat dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak, seperti anak yang bekerja di Jermal, Pertambangan, Pabrik Sepatu, Prostitusi, dan eksploitasi seksual anak.
Komite Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa mendorong setiap Negara yang telah meratifikasi KHA untuk mentransformasikan dari bahasa hukum ke dalam kebijakan, strategi, tujuan, dan program. Supaya setiap Negara memahami ketentuan dan prinsip dasar dalam KHA, Komite Hak Anak mengelompokkan Pasal-Pasal dalam KHA menjadi delapan kelompok atau klaster.
Delapan klaster KHA yang dimaksud: Pertama, Langkah pelaksanaan umum. Klaster ini berisikan ketentuan yang tertuang dalam Pasal 4, 42, dan 44. Pada klaster pertama ini Negara yang telah meratifikasi KHA diminta untuk memastikan hak-hak anak terpenuhi melalui kebijakan dan program yang terdesentralisasi di setiap daerah otonom yang tertuang dalam Rencana Aksi Nasional Pembangunan di Bidang Anak. Ketentuan lain adalah, Komite berharap KHA didesiminasikan kepada anak, orang tua, masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah. Selain itu, Negara atau Pemerintah memastikan adanya pelatihan kepada para profesional yang bekerja dengan atau untuk anak pada layanan kesehatan, pendidikan, sosial, dan penegakan hukum.
Kedua, definsi. Berdasarkan ketentuan KHA, yang dimaksud dengan anak adalah “Seorang anak berarti setiap manusia di bawah usia 18 tahun, kecuali apabila menurut hukum yang berlaku bagi anak tersebut ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal (Pasal 1 KHA).” Pasal 1 KHA ini merupakan salah satu Pasal yang direservasi oleh Indonesia pada tahun 1990, namun ditarik pada tanggal 11 Januari 2005. Artinya, Indonesia secara sah mengakui definisi anak sebagaimana yang tertuang dalam ketentuan Pasal 1 KHA sejak 12 Januari 2005. Meskipun demikian, definisi anak yang ada selama ini masih terdapat perbedaan batasan usia anak dibeberapa ketentuan peraturan perundang-undangan. Definisi pekerja anak adalah 15 tahun (UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan); Definisi Anak dapat dituntut di depan hukum adalah 12 tahun (UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak); dan lain-lain.
Ketiga, Prinsip-prinsip Umum KHA. Pasal KHA yang mengatur prinsip-prinsip KHA adalah Pasal 2, 3, 6,  dan 12. Terdapat empat prinsip KHA yang menjadi dasar pertimbangan pada setiap penyusun kebijakan dan program. Keempat prinsip dimaksud adalah, non-diskriminasi (Pasal 2), kepentingan terbaik bagi anak (Pasal 3), hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan (Pasal 6), dan penghargaan terhadap pandangan anak (Pasal 12).
Keempat, Hak Sipil dan Kebebasan. Ketentuan KHA yang tertuang dalam klaster ke-4 ini adalah ahak anak untuk pencatatan kelahiran, nama, kebangsaan, dan hak mengetahui dai diasuh oleh orang tua. Ketentuan lainnya adalah hak anak atas identitas, kebebasan berekspresi, kebebasan berfikir, berkeyakinan, dan beragama. Hak anak atas kebebasan berorganisasi dan berkumpul secara damai. Hak anak atas privasi, mengakses informasi yang layak, dan perlindungan dari penyiksaan, perlakuan merendahkan, dan pencabutan kebebasan.
Kelima, Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif. Ada 10 Pasal KHA yang mengatur tentang hak anak atas lingkungan keluarga dan pengasuhan. Pada klaster ini, anak memiliki hak atas bimbingan orang tua dan kemampuan anak selalu berkembang. Orang tua bertanggung jawab atas pengasuhan anaknya dalam lingkungan keluarga. Ketentuan KHA dalam klaster kelima ini adalah mengutamakan keluarga sebagai pengasuh utama, untuk itu, pemerintah berkewajiban untuk melakukan pelatihan pengasuhan anak. Ketentuan lain, anak yang tidak memiliki pengasuh, diutamakan untuk diasuh oleh keluarga besar, sedangkan panti asuhan hanyalah sebagai alternatif terakhir. KHA juga memastikan Negara untuk melakukan pemantauan dan mereview secara berkala terhadap anak yang terpaksa tinggal di panti asuhan atau Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA).
Keenam, Disabilitas, Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan. Hak anak atas kesehatan dan layanan kesehatan, hak atas jaminan sosial, dan hak atas standar hidup yang layak. Hak anak lainnya adalah hak anak disabilitas. Poin penting dari klaster ini lebih difokuskan kepada pencegahan untuk terjadinya anak disabilitas. Negara memastikan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan reproduksi dan mental remaja.
Ketujuh, Pendidikan, Pemanfaatan Waktu Luang, dan Kegiatan Budaya. Poin penting dalam klaster ke-7 adalah memastikan hak anak atas pendidikan, beristirahat, berekreasi, dan kegiatan budaya dan seni.  Anak-anak memiliki hak atas pendidikan dasar se-gratis, aman dan nyaman di sekolah, bebas dari kekerasan, dan yang terpenting adalah penegakan disiplin dengan non-kekerasan. Anak juga aktif terlibat dalam kegiatan budaya dan seni, sehingga mereka dapat mewarisi tradisi adat setempat yang mengandung nilai positif lainnya.
Terakhir atau Kedelapan, Perlindungan Khusus. Ketentuan KHA dalam klaster terakhir ini adalah hak anak di daerah pengungsi, hak anak yang berkonflik dengan hukum, hak anak atas perlindungan dari eksploitasi seksual, pornografi, dan prostitusi anak, serta hak anak dari pribumi dan minoritas.
Upaya untuk melaksanakan ketentuan dan prinsip dasar dalam KHA, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan mengembangkan “Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak.” Yaitu pengintegrasian komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha  yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program, dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak anak.
10 Hak Anak Indonesia
(Berdasarkan Konvensi Hak Anak PBB tahun 1989)
  1. Hak untuk BERMAIN 
  2. Hak untuk mendapatkan PENDIDIKAN 
  3. Hak untuk mendapatkan PERLINDUNGAN 
  4. Hak untuk mendapatkan NAMA (identitas) 
  5. Hak untuk mendapatkan status KEBANGSAAN
  6. Hak untuk mendapatkan MAKANAN
  7. Hak untuk mendapatkan akses KESEHATAN
  8. Hak untuk mendapatkan REKREASI
  9. Hak untuk mendapatkan KESAMAAN
  10. Hak untuk memiliki PERAN dalam PEMBANGUNAN

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN HAK-HAK SELURUH PEKERJA MIGRAN DAN ANGGOTA KELUARGANYA (1990)
Pada tanggal 12 April 2012 Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB Tahun 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya,(selanjutnya disebut Konvensi Pekerja Migran). Konvensi ini pertama kali dideklarasikan di New York pada tanggal 18 Desember 1990 dan diberlakukan sebagai hukum internasional pada tanggal 1 Juli 2003. Indonesia telah menandatangani Konvensi ini pada tanggal 22 September 2004. Negara yang telah meratifikasi Konvensi ini baru 35  negara dan di wilayah ASEAN baru Philipina dan Indonesia. Indonesia sebagai salah satu negara pengirim tenaga kerja terbesar ke luar negeri sudah selayaknya meratifikasi Konvensi ini, meskipun negara-negara tujuan penempatan pekerja migran Indonesia belum ada yang meratifikasi, misalnya Malaysia dan Arab Saudi. Ratifikasi Konvensi ini sangat penting karena dapat menunjukkan pada dunia internasioal tentang komitmen suatu negara dalam melakukan perlindungan bagi pekerjanya yang bekerja di luar negeri.

Di sisi lain, dengan meratifikasi Konvensi berarti Pemerintah berkewajiban untuk memberikan peluang dan kesempatan yang sama bagi tenaga kerja asing/pekerja migran dan anggota keluarganya yang bekerja di Indonesia termasuk apabila mereka terkena PHK dan berkewajiban untuk memberikan tunjangan pengangguran. Konvensi ini juga mengatur  permasalahan minimnya standar perlindungan hak-hak sipil, ekonomi, sosial dan budaya pekerja migran dan anggota keluarganya. Oleh karena itu Konvensi ini sebagai langkah awal besar guna perbaikan menyeluruh tentang penyelenggaraan perlindungan pekerja migran.

Konvensi ini mengatur beberapa hal penting, seperti:
1.      Mengatur mengenai standar minimum perlindungan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya. Konvensi ini mendorong negara agar menyelaraskan perundang-undangannya dengan standar universal yang termaktub dalam Konvensi.
2.      Mengakui adanya kontribusi yang disumbangkan oleh pekerja migran terhadap ekonomi dan masyarakat negara tempat mereka bekerja serta pembangunan negara asal mereka.
3.      Mencantumkan serangkaian standar untuk perlindungan pekerja migran dan kewajiban negara yang terkait, meliputi negara asal, transit dan negara tempat bekerja.
4.      Mencegah dan menghapuskan eksploitasi seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya di seluruh proses migrasi, termasuk mencegah terjadinya perdagangan manusia.
5.      Konvensi ini tidak hanya melindungi para pekerja migran, tapi juga melindungi kepentingan negara penerima pekerja migran terkait dengan pembatasan akses kategori pekerjaan guna melindungi warga negaranya.

Dengan telah diratifikasinya Konvensi Pekerja Migran, maka Pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah harmonisasi peraturan perundang-undangan terkait penyelenggaraan perlindungan bagi pekerja migran. Oleh karena itu, Konvensi ini harus dijadikan dasar acuan melakukan revisi Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia yang Bekerja di Luar Negeri.

Melalui Konvensi ini, Indonesia dapat memainkan diplomasinya dan meningkatkan posisi tawar untuk mendorong negara-negara penerima agar lebih menghormati aturan Konvensi. Untuk harmonisasi peraturan perundang-undangan terkait dengan penyelenggaraan perlindungan pekerja migran, Pemerintah selain perlu melakukan revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja yang Bekerja di Luar Negeri, juga perlu mengevaluasi 13 MOU yang selama ini sudah ditandatangani dengan negara penerima, terutama yang belum selaras dan masih banyak kelemahan-kelemahan dalam hal perlindungan HAM bagi pekerja migran.

Dalam memberikan pelayanan kepada pekerja migran Pemerintah harus mengacu Konvensi ini, sehingga tidak ada lagi kasus-kasus seperti penelantaran atau pemalsuan dokumen untuk pekerja migran. Jika selama ini pengaturan dan hukuman kepada pekerja migran bermasalah masih lemah, nantinya melalui Konvensi ini harus dijadikan momen penegakkan hukum bagi pelaku pelanggaran Pekerja Migran.

Indonesia Ratifikasi Konvensi Pelarangan Ranjau Darat Anti Personel (1997)
Ratifikasi ini tidak menimbulkan kerugian bagi Indonesia. Sebaliknya, ratifikasi ini dapat dijadikan modal untuk menggalang kekuatan internasional untuk menjalankan perlindungan pekerja migran Indonesia di luar negeri. Dan, seperti kita ketahui bahwa sebagian besar pekerja migran kita adalah perempuan, dan sebagian besar yang bermasalah  adalah juga perempuan. Untuk itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak peduli!

No. 92/PR/XI/2006. Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 28 November 2006 menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan Konvensi tentang Pelarangan Penggunaan, Penimbunan, Produksi, dan Transfer Ranjau Darat Anti-Personil dan Pemusnahannya (Convention on the Prohibition of the Use, Stockpiling, Production, and Transfer of Anti-Personnel Mines and on Their Destruction). Persetujuan tersebut ditandatangani oleh fraksi-fraksi di Komisi I DPR dan Pemerintah pada rapat kerja yang  dihadiri oleh Menteri Pertahanan dan Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Departemen Luar Negeri.

Konvensi Pelarangan Ranjau Darat Anti Personil atau sering disebut juga sebagai Ottawa Convention ditandatangani bulan Desember 1997 di Ottawa, Kanada. Indonesia merupakan salah satu negara pertama yang ikut menjadi negara penandatangan pada tangal 4 Desember 1997. Saat ini telah ada sejumlah 151 negara yang menjadi pihak pada Konvensi.

Ratifikasi Konvensi oleh Indonesia menunjukkan bahwa sebagai bangsa cinta damai, Indonesia menyepakati nilai-nilai kemanusiaan dan tujuan yang terkandung dalam Konvensi yaitu mengakhiri penderitaan yang diakibatkan ranjau darat anti-personel serta ikut dalam upaya memajukan ketertiban dan perdamaian dunia. Indonesia wajib melaksanakan konvensi ini enam bulan sejak meratifikasinya.

Korban ranjau darat antipersonel umumnya adalah penduduk sipil, wanita, dan anak-anak. Sebagian besar kehilangan anggota tubuh; kaki atau lengan dan menjadi cacat seumur hidup. Akibat penggunaan ranjau darat antipersonel sebagai alat perang tidak berhenti setelah perang usai, ranjau darat akan tetap aktif bertahun-tahun setelah perang usai selain menimbulkan korban jiwa, cacat, dan mengakibatkan kerugian ekonomi karena lahan yang tidak dapat diolah rakyat. Pembersihan ranjau darat yang  telah ditanam, merupakan pekerjaan sulit, memerlukan tenaga ahli terampil, membutuhkan ongkos yang mahal, dan memerlukan waktu yang lama. Oleh karenanya,  tekad untuk tidak menggunakan ranjau darat antipersonil merupakan implementasi dari sebuah sikap yang bertanggung jawab tidak saja bagi rakyat dan bangsa Indonesia sendiri tapi juga bagi masyarakat dunia. (Dit-KIPS)

KONVENSI TENTANG PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI TERHADAP PEREMPUAN
Negara-negara peserta pada Konvensi yang sekarang lni,
Memperhatikan bahwa Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa menguatkan lagi keyakinan atas hak-hak azasi manusia, atas martabat dan nilai pribadi manusia, dan atas persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.
Memperhatikan bahwa Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Azasi Manusia menegaskan azas mengenai tidak dapat diterimanya diskriminasi dan menyatakan bahwa semua manusia dilahirkan bebas dan sama dalam martabat dan hak, dan bahwa tiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang dimuat di dalamnya, tanpa perbedaan apapun, termasuk perbedaan berdasarkan jenis kelamin.
Memperhatikan bahwa Negara-negara peserta pada perjanjian-perjanjian Internasional mengenai Hak-hak Azasi Manusia berkewajiban untukmenjamin hak yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati semua hak ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik.
Mempertimbangkan konvensi-konvensi internasional yang ditanda tangani di bawah naungan Perserikatan Bangsa Bangsa dan badan-badan khususnya, yang menganjurkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.
Memperhatikan juga resolusi-resolusi, deklarasi-deklarasi dan rekomendasi-rekomendasi yang disetujui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan badan-badan khususnya yang menganjurkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, namun demikian sangat memprihatinkan bahwa meskipun adanya bermacam-macarn dokumen tersebut, namun diskriminasi yang luas terhadap perempuan masih tetap ada,
Mengingat, bahwa diskriminasi terhadap perempuan adalah melanggar azas persamaan hak dan rasa hormat terhadap martabat manusia, merupakan halangan bagi partisipasi perempuan, atas dasar persamaan dengan kaum laki-laki dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi dan budaya negara-negara mereka. Hal ini menghambat perkembangan kemakmuran masyarakat-dan menambah sukarnya perkembangan sepenuhnya dari potensi kaum perempuan dalam pengabdiannya terhadap negara-negara mereka dan terhadap umat manusia,
Memprihatinkan bahwa dalam situasi-situasi kemiskinan, perempuan yang paling sedikit mendapat kesempatan untuk memperoleh makanan, pemeliharaan kesehatan, pendidikan, pelatihan, maupun untuk memperoleh kesempatan kerja dan lain-lain kebutuhan Yakin bahwa dengan terbentuknya tata ekonomi internasional yang baru, berdasarkan pemerataan dan keadilan, akan memberi sumbangan yang berarti terhadap peningkatan persamaan antara laki-laki dan perempuan,
Menekankan bahwa penghapusan apartheid, penghapusan semua bentuk rasisme, diskriminasi rasial, kolonialisme, neo-kolonialisme, agresi, pendudukan dan dominasi serta campur tangan asing dalam urusan dalam negeri Negara adalah penting, untuk dapat menikmati sepenuhnya hak-hak laki-laki dan perempuan.
Menegaskan bahwa memperkuat perdamaian dan keamanan internasional, pengendoran ketegangan internasional, kerjasama timbal-balik di antara semua negara, teriepas dari sistem sosial dan ekonomi mereka, periucutan senjata secara umum dan menyeluruh, dan khususnya periucutan senjata nuklir di bawah pengawasan internasional yang ketat dan efektif, penegasan azas-azas keadilan, persamaan dan manfaat bersama dalam hubungan antar negara, realisasi hak bangsa-bangsa yang berada di bawah dominasi asing, dominasi kolonial pendudukan asing untuk menentukan nasib sendiri dan kemerdekaannya,
maupun menghormati kedaulatan nasional dan keutuhan wilayah, akan meningkatkan kemajuan sosial dan pembangunan, yang dampaknya akan menunjang tercapainya persamaan sepenuhnya antara laki-laki dan perempuan, Yakin bahwa pembangunan menyeluruh dan selengkapnya suatu negara, kesejahteraan dunia dan usaha perdamaian menghendaki partisipasi maksimal kaum perempuan atas dasar persamaan dengan kaum laki-laki di segala lapangan,
Mengingatkan kembali sumbangan besar kaum perempuan terhadap kesejahteraan keluarga dan pembangunan masyarakat yang selama ini belum sepenuhnya diakui, arti sosial darl kehamilan, dan peranan kedua orang tua dalam keluarga dalam membesarkan anak-anak, dan menyadari bahwa peranan perempuan dalam memperoleh keturunan hendaknya jangan menjadi dasar diskriminasi, akan tetapi bahwa membesarkan anak-anak menghendaki pembagian tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan dan masyarakat sebagai keseluruhan.
Menyadari bahwa diperlukan perubahan pada peranan tradisional kaum laki-laki maupun peranan kaum perempuan dalam masyarakat dan dalam keluarga, untuk mencapai persamaan sepenuhnya antara laki-laki dan perempuan,
Bertekad untuk melaksanakan azas-azas yang tercantum dalam Deklarasi mengenai Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan, dan untuk itu membuat peraturan yang diperlukan untuk menghapus diskriminasi seperti itu dalam segala bentuk dan perwujudannya,
Telah bersepakat mengenal hal-hal sebagal berikut:
BAGIAN I
Pasal 1
Untuk tujuan Konvensi yang sekarang ini, istilah “diskriminasi terhadap perempuan”
berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak azasi manusia dan kebebasankebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.
Pasal 2
Negara-negara peserta mengutuk diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bentuknya dan bersepakat untuk menjalankan dengan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda, kebijaksanaan menghapus diskriminasi terhadap perempuan, dan untuk tujuan ini berusaha :
a) Mencantumkan azas persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam Undang Undang Dasar nasional mereka atau perundang-undangan yang tepat lainnya jika belum termasuk di dalamnya, dan untuk menjamin realisasi praktis dari azas ini, melalui hukum dan cara-cara lain yang tepat ;
b) Membuat peraturan perundang-undangan yang tepat dan peraturanperaturan lainnya termasuk sanksi-sanksinya di mana perlu, melarang semua diskriminasi terhadap perempuan;
c) Menegakkan perlindungan hukum terhadap hak-hak perempuan atas dasar yang sama dengan kaum laki-laki dan untuk menjamin melalui pengadilan nasional yang kompeten dan badan-badan pemerintah lainnya, perlindungan kaum perempuan yang efektif terhadap setiap tindakan diskriminasi ;
d) Tidak melakukan suatu tindakan atau praktek diskriminasi terhadap perempuan, dan untuk menjamin bahwa pejabat-pejabat pemerintah dan lembaga-lembaga negara akan bertindak sesuai dengan kewajiban tersebut;
e) Membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus perlakukan diskriminasi terhadap perempuan oleh tiap orang, organisasi atau perusahaan;
f) Membuat peraturan-peraturan yang tepat, termasuk pembuatan undang-undang, untuk mengubah dan menghapuskan undang-undang, peraturan-peraturan, keblasaan-kebiasaan dan praktek-praktek yang diskriminatif terhadap perempuan;
g) Mencabut semua ketentuan pidana nasional yang diskriminatif terhadap perempuan.
Pasal 3
Negara-negara peserta membuat peraturan-peraturan yang tepat, termasuk pembuatan undang-undang di semua bidang, khususnya di bidang politik, sosial, ekonomi dan
budaya, untuk meniamin perkembangan dan kemajuan perempuan sepenuhnya, dengan tuiuan untuk menjamin mereka melaksanakan dan menikmati hak-hak azasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok atas dasar persamaan dengan laki-laki.
Pasal 4
1. Pembuatan peraturan-peraturan khusus sementara oleh Negara-negara peserta yang ditujukan untuk mempercepat persamaan de facto antara laki-laki dan perempuan, tidak dianggap diskriminasi seperti ditegaskan dalam Konvensi ini dan sama sekali tidak harus membawa konsekuensi pemeliharaan norma-norma yang tak sama atau terpisah, maka peraturan-peraturan ini dihentikan jika tujuan persamaan kesempatan dan perlakuan telah tercapai.
2. Pembuatan peraturan-peraturan khusus oleh negara-negara peserta, termasuk peraturan-peraturan yang dimuat dalam Konvensi yang sekarang ini, yang ditujukan untuk melindungi kehamilan, tidak dianggap diskriminasi.
Pasal 5
Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat;
(a) untuk mengubah pola tingkah laku sosial dan budaya laki-laki dan perempuan dengan maksud untuk mencapal penghapusan prasangka-prasangka, kebiasaan-kebiasaan dan segala praktek lainnya yang berdasarkan atas inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin atau berdasar peranan stereotip bagi laki-laki dan perempuan;
(b) untuk menjamin bahwa pendidikan keluarga melalui pengertian yang tepat mengenai kehamilan sebagai fungsi sosial dan pengakuan tanggung jawab bersama laki-laki dan perempuan dalam membesarkan anak-anak mereka, seyogyanyalah bahwa kepentingan anak-anak adalah pertimbangan utama dalam segala hal.
Pasal 6
Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat, termasuk pembuatan undang-undang, untuk memberantas segala bentuk perdagangan perempuan dan ekploitasi pelacuran.
BAGIAN II
Pasal 7
Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik dan kehidupan kemasyarakatan negaranya, khususnya menjamin bagi perempuan atas dasar persamaan dengan laki-laki, hak:
(a) untuk memilih dan dipilih;
(b) untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijaksanaan pemerintah dan implementasinya, memegang jabatan dalam pemerintahan dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di semua tingkat;
(c) untuk berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan-perkumpulan nonpemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik negara.
Pasal 8
Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menjamin bagi perempuan kesempatan untuk mewakili pemerintah mereka pada tingkat international dan untuk berpartisipasi dalam pekerjaan organisasi-organisasi international atas dasar persamaan dengan laki-laki tanpa suatu diskriminasi.
Pasal 9
1. Negara-negara peserta wajib memberi kepada perempuan hak yang sama dengan laki-laki untuk memperoleh, mengubah atau mempertahankan kewarganegaraannya. Negaranegara peserta khususnya wajib menjamin bahwa perkawinan dengan orang asing maupun perubahan kewarganegaraan oleh suami selama perkawinan tidak secara otomatis mengubah kewarganegaraan isteri, menjadikannya tidak berkewarganegaraan atau memaksakan kewarganegaraan suaminya kepadanya.
2. Negara-negara peserta wajib memberi kepada perempuan hak yang sama dengan laki-laki berkenaan kewarganegaraan anak-anak mereka.
BAGIAN III
Pasal 10
Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan guna menjamin bagi mereka hak-hak yang sama dengan laki-laki di lapangan pendidikan, khususnya guna menjamin persamaan antara laki-laki dan perempuan:
(a) Persyaratan yang sama untuk bimbingan karir dan keahlian, untuk kesempatan mengikuti pendidikan dan memperoleh ijazah dalam lembaga-lembaga pendidikan segala tingkatan baik di daerah pedesaan maupun perkotaan; Persamaan ini wajib dijamin baik dalam pendidikan taman kanak-kanak, umum, tehnik, serta dalam pendidikan keahlian tehnik tinggi, maupun dalam segala macam jenis pelatihan kejuruan;
(b) Pengikutsertaan pada kurikulum yang sama, ujian yang sama, staf pengajar dengan standar kualifikasi yang sama, serta gedung dan peralatan sekolah yang berkualitas sama;
(c) Penghapusan tiap konsep yang stereotip mengenai peranan laki-laki dan perempuan di segala tingkat dan dalam segala bentuk pendidikan dengan menganjurkan ko-edukasi dan lain-lain jenis pendidikan yang akan membantu untuk mencapai tujuan ini, khususnya dengan merevisi buku wajib dan program-program sekolah serta penyesualan metode mengajar;
(d) Kesempatan yang sama untuk mengambil manfaat dari beasiswa dan lain-lain dana pendidikan;
(e) Kesempatan yang sama untuk ikut serta dalam program pendidikan yang berkelanjutan, termasuk program pendidikan orang dewasa dan pemberantasan buta huruf fungsional, khususnya program-program yang ditujukan pada pengurangan sedini mungkin tiap jurang pemisah dalam pendidikan yang ada antara laki-laki dan perempuan;
(f) Pengurangan angka putus sekolah pelajar puteri dan penyelenggaraan program untuk gadis-gadis dan perempuan yang sebelum waktunya meninggalkan sekolah.
(g) Kesempatan yang sama untuk berpartisipasi secara aktif dalam olahraga dan pendidikan jasmani;
(h) Dapat memperoleh penerangan edukatif khusus untuk membantu meniamin kesehatan dan kesejahteraan keluarga, termasuk penerangan dan nasehat mengenal keluarga berencana.
Pasal 11
1. Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dilapangan pekerjaan guna menjamin hak-hak yang sama atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan, khususnya:
(a) Hak untuk bekerja sebagai hak azasi manusia;
(b) Hak atas kesempatan kerja yang sama, termasuk penerapan kriteria seleksi yang sama dalan penerimaan pegawai;
(c) Hak untuk memilih dengan bebas profesi dan pekerjaan, hak untuk promosi, jaminan pekerjaan dan semua tuniangan serta fasilitas kerja, hak untuk rnemperoleh pelatihan kejuruan dan pelatihan ulang termasuk masa kerja sebagai magang, pelatihan kejuruan lanjutan dan pelatihan ulang lanjutan;
(d) Hak untuk menerima upah yang sama, termasuk tuniangan-tunjangan, baik untuk perlakuan yang sama sehubungan dengan pekerjaan dengan nilai yang sama, maupun persamaan perlakuan dalam penilaian kualitas pekerjaan;
(e) Hak atas jaminan sosial, khususnya dalam hal pensiun, pengangguran, sakit, cacat, lanjut usia, serta lain-lain ketidakmampuan untuk bekerja, hak atas masa cuti yang dibayar;
(f) Hak atas perlindungan kesehatan dan keselamatan keria, termasuk usaha perlindungan terhadap fungsi melanjutkan keturunan.
2. Untuk mencegah diskriminasi terhadap perempuan atas dasar perkawinan atau kehamilan dan untuk menjamin hak efektif mereka untuk bekerja, negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat:
(a) Untuk melarang, dengan dikenakan sanksi pemecatan atas dasar kehamilan atau cuti hamil dan diskriminasi dalam pemberhentian atas dasar status perkawinan;
(b) Untuk mengadakan peraturan cut! hami) dengan bayaran atau dengan tunjangan sosial yang sebanding tanpa kehilangan pekerjaan semula.
(c) Untuk menganjurkan pengadaan pelayanan sosial yang perlu guna memungkinkan para orang tua menggabungkan kewajiban-kewajiban keluarga dengan tanggungjawab pekerjaan dan partisipasi dalam kehidupan masyarakat, khususnya dengan meningkatkan pembentukan dan pengembangan suatu jaringan tempat-tempat penitipan anak;
(d) Untuk memberi perlindungan khusus kepada kaum perempuan selama kehamilan pada jenis pekerjaan yang terbukti berbahaya bagi mereka;
3. Perundang-undangan yang bersifat melindungi sehubungan dengan hal-hal yang tercakup dalam pasal ini wajib ditinjau kemball secara berkala berdasar ilmu pengetahuan dan tehnologi, serta direvisi, dicabut atau diperluas menurut keperluan.
Pasal 12
1. Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan di bidang pemeliharaan kesehatan dan supaya menjamin diperolehnya pelayanan kesehatan termasuk pelayanan yang berhubungan dengan keluarga berencana, atas dasar persamaan antara laki-laki dan
perempuan.
2. Sekalipun terdapat ketentuan pada ayat 1) ini, negara-negara peserta wajib menjamin kepada perempuan pelayanan yang layak berkaitan dengan kehamilan, persalinan dan masa sesudah persalinan, dengan memberikan pelayanan cuma-cuma dimana perlu, serta pemberian makanan bergizi yang cukup selama kehamilan dan masa menyusui.
Pasal 13
Negara-negara wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan di lain-lain bidang kehidupan ekonomi dan social supaya menjamin hak-hak yang sama, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan, khususnya:
(a) Hak atas tunjangan keluarga;
(b) Hak atas pinjaman bank, hipotek dan lain-lain bentuk kredit permodalan;
(c) Hak untuk ikut serta dalam kegiatan-kegiatan rekreasi, olah raga dan semua segi
kehidupan kebudayaan.
Pasal 14
1. Negara-negara peserta wajib memperhatikan masalah-masalah khusus yang dihadapi oleh perempuan didaerah pedesaan dan peranan yang dimainkan perempuan pedesaan demi kelangsungan hidup keluarga mereka di bidang ekonomi, termasuk pekerjaan mereka pada sektor ekonomi bukan penghasil uang, dan wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk meniamin penerapan ketentuan-ketentuan Konvensi ini bagi perempuan di daerah pedesaan.
2. Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus disktiminasi terhadap perempuan di daerah pedesaan, dan menjamin bahwa mereka ikut serta dalam dan mengecap manfaat dari pembangunan pedesaan atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan, khususnya menjamin kepada perempuan pedesaan hak:
(a) Untuk berpartisipasi dalam perluasan dan implementasi perencanaan pembangunan di segala tingkat;
(b) Untuk memperoleh fasilitas pemeliharaan kesehatan yang memadai, termasuk penerangan, penyuluhan dan pelayanan dalam keluarga berencana;
(c) Untuk mendapatkan manfaat langsung dari program jaminan sosial;
(d) Untuk memperoleh segala jenis pelatihan dan pendidikan, baik formal maupun non formal, termasuk yang berhubungan dengan pemberantasan buta huruf fungsional, serta manfaat semua pelayanan masyarakat dan pelayanan penyuluhan guna meningkatkan ketrampilan tehnik mereka;
(e) Untuk membentuk kelompok-kelompok swadaya dan koperasi supaya memperoleh peluang yang sama terhadap kesempatan-kesempatan ekonomi melalui pekerjaan atau kewiraswastaan;
(f) Untuk berpartisipasi dalam semua kegiatan masyarakat;
(g) Untuk dapat memperoleh kredit dan pinjaman pertanian, fasilitas pemasaran, tehnologi tepat-guna, serta periakuan sama pada landreform dan urusan-urusan pertanahan termasuk pengaturan-pengaturan tanah pemukiman;
(h) Untuk menikmati kondisi hidup yang memadai, terutama yang berhubungan dengan perumahan, sanitasi, penyediaan listrik dan air, pengangkutan dan komunikasi.
BAGIAN IV
Pasal 15
1. Negara-negara peserta wajib memberikan kepada perempuan persamaan hak dengan laki-laki di muka hukum.
2. Negara-negara peserta wajib memberikan kepada perempuan dalam urusan urusan sipil kecakapan hukum yang sama dengan kaum laki-laki dan kesempatan yang sama untuk menjalankan kecakapan tersebut, khususnya agar memberikan kepada perempuan hak-hak yang sama untuk menandatangani kontrak-kontrak dan untuk mengurus harta benda, serta wajib memberi mereka perlakuan yang sama pada semua tingkatan prosedur di muka hakim dan pengadilan.
3. Negara-negara peserta bersepakat bahwa semua kontrak dan semua dokumen yang mempunyai kekuatan hukum yang ditujukan kepada pembatasan kecakapan hukum bagi perempuan, wajib dianggap batal dan tidak berlaku.
4. Negara-negara peserta wajib memberikan kepada laki-laki dan perempuan hak-hak yang sama berkenaan dengan hukum yang berhubungan dengan mobilitas orang-orang dan kebebasan untuk memilih tempat tinggal dan domisili mereka.
Pasal 16
1. Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam semua urusan yang berhubungan dengan perkawinan dan hubungan kekeluargaan atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan, dan khususnya akan menjamin:
a) Hak yang sama untuk memasuki jenjang perkawinan;
b) Hak yang sama untuk memilih suami secara bebas dan untuk memasuki jenjang perkawinan hanya dengan persetujuan yang bebas dan sepenuhnya;
c) Hak dan tanggungjawab yang sama selama perkawinan dan pada pemutusan perkawinan;
d) Hak dan tanggungjawab yang sama sebagai orang tua, terlepas dari status kawin mereka, dalam urusan-urusan yang berhubungan dengan anak-anak mereka. Dalam semua kasus, kepentingan anak-anaklah yang wajib diutamakan;
e) Hak yang sama untuk menentukan secara bebas dan bertanggungjawab jumlah dan penjarakan kelahiran anak-anak mereka serta untuk memperoleh penerangan, pendidikan dan sarana-sarana untuk memungkinkan mereka menggunakan hak-hak ini;
f) Hak dan tanggung jawab yang sama berkenaan dengan perwalian, pemeliharaan, pengawasan dan pengangkatan anak a’tau lembaga-lembaga yang sejenis di mana konsep-konsep ini ada dalam perundang-undangan nasional, dalam semua kasus kepentingan anak-anaklah yang wajib diutamakan;
g) Hak pribadi yang sama sebagai suami isteri, termasuk hak untuk memilih nama keluarga, profesi dan jabatan;
h) Hak sama untuk kedua suami isteri bertalian dengan pemiiikan, perolehan, pengelolaan, administrasi, penikmatan dan memindahtangankan harta benda, baik secara cuma-cuma maupun dengan penggantian berupa uang.
2. Pertunangan dan perkawinan seorang anak tidak akan mempunyai akibat hukum dan semua tindakan yang periu, termasuk perundangundangan, wajib diambil untuk menetapkan usia minimum untuk kawin dan untuk mewajibkan pendaftaran perkawinan di Kantor Catatan Sipil yang resmi.


BAGIAN V
Pasal 17
1. Untuk menilai kemajuan yang telah dibuat pada implementasi Konvensi yang sekarang ini, dibentuk suatu Komite Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan (Komite CEDAW, selanjutnya disebut Komite). Pada waktu Konvensi ini mulai berlaku, Komite terdiri dari delapan belas orang dan setelah Konvensi ini diartifikasi atau dilakukan aksesi oleh negara peserta ketiga puluh lima, terdiri dari dua puluh tiga orang ahli yang bermartabat tinggi dan kompeten di bidang yang dicakup oleh Konvensi ini. Ahli-ahli ini akan dipilih oleh negara-negara peserta diantara warganegaranya dan bertindak dalam kapasitas pribadi mereka, dengan mempertimbangkan distribusi geografis yang tepat dan mempertimbangkan unsur-unsur dari berbagai bentuk peradaban manusia dan system hukum utama yang berlaku.
2. Anggota-anggota Komite dipilih dengan jalan pemungutan suara secara rahasia dari daftar nama orang-orang yang dicalonkan oleh negara-negara peserta. Setiap Negara peserta mencalonkan seorang di antara warganegaranya sendiri.
3. Pemilihan pertama diadakan enam bulan setelah tanggal mulal berlakunya Konvensi. Sekurang-kurangnya tiga bulan sebelum tanggal setiap pemilihan, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa mengirimkan surat kepada negara-negara peserta, mengundang mereka untuk mengajukan pencalonan mereka dalam waktu dua bulan. Sekretaris Jenderal mempersiapkan daftar menurut urutan dari semua orang yang dicalonkan itu, dengan mencantumkan nama negara peserta yang telah mencalonkan mereka, dan menyampalkan daftar itu kepada negara peserta;
4. Pemilihan para anggota Komite diadakan pada suatu rapat antar negara-negara peserta yang diundang oleh Sekretaris Jenderal di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada rapat tersebut, dua pertiga dari negara-negara yang terpilih untuk Komite itu adalah calon-calon yang memperoleh jumiah suara terbesar dan mayoritas mutlak dari suara para wakil negara-negara peserta yang hadir yang memberikan suara.
5. Para anggota Komite dipilih untuk masa jabatan empat tahun. Namun, masa jabatan sembilan orang di antara anggota yang dipilih pada pemilihan pertama habis waktunya setelah dua tahun berakhir; segera setelah pemilihan pertama, nama-nama ke sembilan anggota ini dipilih melalui undian oleh Ketua Komite.
6. Pemilihan lima orang anggota Komite tambahan diadakan sesual dengan ketentuan ayat 2) 3) dan 4) pasal lni, setelah ratifikasi atau aksesi yang ke tiga puluh lima. Masa jabatan dua orang di antara anggota-anggota tambahan yang dipilih pada kesempatan ini habis waktunya setelah dua tahun berakhir, nama-nama kedua anggota ini dipilih melalui undian oleh Ketua Komite.
7. Untuk mengisi lowongan yang timbul secara insidentil, negara-negara peserta yang ahlinya berhenti berfungsi sebagai anggota, Komite menunjuk ahli lain dari antara warga negara yang harus disetujui oleh Komite.
8. Anggota Komite dengan persetujuan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, akan menerima tunjangan-tunjangan dari sumber-sumber Perserikatan Bangsa-Bangsa menurut syarat-syarat seperti yang ditentukan oleh Majelis, mengingat pentingnya tanggung jawab Komite.
9. Sekretaris lenderal Perserikatan Bangsa Bangsa menyediakan pegawai-pegawai dan fasilitas yang diperlukan bag! pelaksanaan efektif fungsi-fungsi Komite di bawah Konvensi ini.
Pasal 18
1. Negara-negara peserta akan menyampaikan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, untuk dipertimbangkan oleh Komite laporan mengenai peraturanperaturan legislatif, judikatif, administratif atau langkah-langkah lain yang telah diambil untuk memberiakukan ketentuan-ketentuan dari Konvensi yang sekarang ini dan laporan mengenai kemajuan yang dicapai:
(a) Dalam satu tahun setelah mulai berlaku untuk negara yang bersangkutan; dan
(b) Sesudah itu sekurang-kurangnya tiap empat tahun dan selanjutnya sewaktu-waktu sesuai permintaan Komite.
2. Laporan dapat memuat faktor dan kesulitan yang mempengaruhi tingkat pelaksanaan kewajiban-kewajiban yang terdapat di dalam Konvensi ini.
Pasal 19
1. Komite wajib membuat peraturan-peraturan prosedurnya sendiri.
2. Komite wajib memilih pejabat-pejabatnya untuk masa jabatan dua tahun.
Pasal 20
1. Komite wajib tiap tahun mengadakan pertemuan untuk jangka waktu tidak lebih dari dua minggu guna mempertimbangkan laporan-laporan yang diajukan sesual dengan pasal 18 Konvensi ini.
2. Pertemuan Komite tersebut pada ayat 1) diadakan di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa atau di tempat lain sesuai dengan keputusan Panitia.
Pasal 21
1. Komite, melalui Dewan Ekonomi dan Sosial, setiap tahun wajib melapor kepada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai kegiatannya serta dapat memberi saran-saran dan rekomendasi umum berdasarkan penelitian laporan-laporan dan keterangan yang diterima dari negara-negara peserta. Saran-saran dan rekomendasi umum tersebut wajib dimasukkan dalam laporan Komite bersama-sama dengan tanggapan, jika ada, dari negara-negara peserta.
2. Sekretaris Jenderal wajib mengirim laporan-laporan Komite kepada Komisi Kedudukan Perempuan, untuk diketahui.
Pasal 22
Badan-badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa berhak untuk diwakili sesuai dengan lingkup kegiatan mereka pada waktu dipertimbangkan pelaksanaan ketentuan-ketentuan Konvensi ini. Komite dapat meminta badan-badan khusus tersebut untuk menyerahkan laporannya mengenai pelaksanaan Konvensi yang termasuk lingkup kegiatan mereka.
BAGIAN VI
Pasal 23
Apapun dalam Konvensi ini tidak akan mempengaruhl ketentuan manapun yang lebih baik bagi tercapainya persamaan antara laki-laki dan perempuan yang mungkin terdapat:
(a) Dalam perundang-undangan suatu negara peserta; atau
(b) Dalam Konvensi, perjanjian atau persetujuan lnternasional manapun yang berlaku bagi negara itu.
Pasal 24
Negara-negara peserta mengusahakan untuk mengambil segala langkah yang perlu pada tingkat nasional yang ditujukan pada tercapainya perwujudan sepenuhnya dari hak-hak yang diakui dalam Konvensi ini.
Pasal 25
1. Konvensi ini terbuka untuk penandatanganan oleh semua negara.
2. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa ditunjuk sebagai penyimpan Konvensi
ini.
3. Konvensi ini perlu diratifikasi. Instrumen-instrumen ratifikasi disimpan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
4. Konvensi ini terbuka untuk aksesi oleh semua negara. Aksesi berlaku dengan penyimpanan instrumen aksesi pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.


Pasal 26
1. Permintaan untuk merevisi Konvensi ini dapat diajukan sewaktu-waktu oleh setiap negara peserta dengan pemberitahuan tertulis yang dialamatkan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
2. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa apabila perlu menentukan langkah-langkah yang akan diambil bertalian dengan permintaan tersebut.
Pasal 27
1. Konvensi ini mulai beriaku pada hari ke tiga puluh setelah tanggal disimpankannya instrumen ratifikasi atau instrumen aksesi yang kedua puluh pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
2. Bagi setiap Negara yang meratifikasi Konvensi ini atau yang melakukan aksesi setelah penyimpanan lnstrumen ratifikasi atau instrumen aksesi yang kedua puluh, Konvensi ini mulai berlaku pada hari ketiga puluh setelah tanggal disimpankannya lnstrumen ratifikasi atau instrumen aksesinya sendiri.
Pasal 28
1. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa menerima dan mengedarkan kepada semua negara naskah keberatan-keberatan yang dibuat oleh negara-negara pada waktu ratifikasi atau aksesi.
2. Keberatan yang bertentangan dengan sasaran dan tujuan Konvensi ini tidak diijinkan.
3. Keberatan-keberatan sewaktu-waktu dapat ditarik kembali dengan memberitahukannya
kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa yang kemudian memberitahukan hal tersebut kepada semua negara.
Pasal 29
1. Setiap perselisihan antara dua atau lebih negara peserta mengenai penafsiran atau penerapan Konvensi ini yang tidak diselesaikan melalui perundingan, diajukan untuk arbitrasi atas permohonan salah satu diantara negara-negara tersebut. Jika dalam enam bulan sejak tanggal permohonan untuk arbitrast pihak-pihak tidak dapat bersepakat mengenai penyelenggaraan arbitrasi itu, salah satu dari pihak-pihak tersebut dapat menyerahkan perselisihan itu kepada Mahkamah Internasional melalui permohonan yang sesuai dengan Peraturan Mahkamah itu.
2. Setiap negara peserta pada waktu penandatanganan atau ratifikasi Konvensi ini atau pada waktu aksesi dapat menyatakan bahwa negara peserta itu tidak menganggap dirinya terikat oleh ayat I pasal ini, negara-negara peserta lain tidak akan terikat oleh ayat itu terhadap negara peserta yang telah membuat keberatan demikian.
3. Negara peserta yang telah mengajukan keberatan seperti tersebut pada ayat 2) pasal ini sewaktu-waktu dapat menarik kembali keberatannya dengan jalan pemberitahuan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa.
Pasal 30
Konvensi ini, yang naskahnya dibuat dalam bahasa Arab, Cina, Inggris, Perancis, Rusia, dan Spanyol, mempunyai kekuatan yang sama dan wajib disimpan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa.
Demikianlah yang bertandatangan di bawah ini, diberi kuasa sebagaimana mestinya, telah menandatangani Konvensi ini.
Ditetapkan dan dibuka untuk ditandatangani, diratifikasi dan disetujui oleh Resolusi Majelis Umum 34/180 pada 18 Desember 1979

UU NO. 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
a. bahwa manusia, sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh ketaqwaan dan penuh tanggung jawab untuk kesejahteraan umat manusia, oleh penciptaNya dianugerahi hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan lingkungannya;

b. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun;
c. bahwa selain hak asasi, manusia juga mempunyai kewajiban dasar antara manusia yang satu terhadap yang lain dan terhadap masyarakat secara keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
d. bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, dan d dalam rangka melaksanakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, perlu membentuk Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia;
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33 ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia;
Dengan persetujuan
*9944 DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG HAK ASASI MANUSIA.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
2. Kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia.
3. Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.
4. Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa seseorang atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan atau pejabat publik.
5. Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
6. Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
7. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Komnas HAM adalah lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia.
BAB II ASAS-ASAS DASAR
Pasal 2
Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia *9945 dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.
Pasal 3
(1) Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam semangat persaudaraan.
(2) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.
(3) Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi.
Pasal 4
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
Pasal 5
(1) Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum.
(2) Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang objektif dan tidak berpihak.
(3) Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.
Pasal 6
(1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah.
(2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
Pasal 7
(1) Setiap orang berhak untuk menggunakan semua upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh hukum Indonesia dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima negara Republik Indonesia.
(2) Ketentuan hukum internasional yang telah diterima negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi hukum nasional.
Pasal 8
*9946 Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah.
BAB III HAK ASASI MANUSIA DAN KEBEBASAN DASAR MANUSIA
Bagian Kesatu Hak untuk Hidup
Pasal 9
(1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.
(2) Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.
(3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Bagian Kedua Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan
Pasal 10
(1) Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
(2) Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga Hak Mengembangkan Diri
Pasal 11
Setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak.
Pasal 12
Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia.
Pasal 13
Setiap orang berhak untuk mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya sesuai dengan martabat manusia demi kesejahteraan pribadinya, bangsa, dan umat manusia.
Pasal 14
(1) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.
(2) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis *9947 sarana yang tersedia.
Pasal 15
Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.
Pasal 16
Setiap orang berhak untuk melakukan pekerjaan sosial dan kebajikan, mendirikan organisasi untuk itu, termasuk menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran, serta menghimpun dana untuk maksud tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keempat Hak Memperoleh Keadilan
Pasal 17
Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.
Pasal 18
(1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukannya.
(3) Setiap ada perubahan dalam peraturan perundang-undangan, maka berlaku ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka.
(4) Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(5) Setiap orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama atas suatu perbuatan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Pasal 19
(1) Tiada suatu pelanggaran atau kejahatan apapun diancam dengan hukuman berupa perampasan seluruh harta kekayaan milik yang bersalah.
(2) Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.
Bagian Kelima *9948 Hak Atas Kebebasan Pribadi
Pasal 20
(1) Tidak seorangpun boleh diperbudak atau diperhamba.
(2) Perbudakan atau perhambaan, perdagangan budak, perdagangan wanita, dan segala perbuatan berupa apapun yang tujuannya serupa, dilarang.
Pasal 21
Setiap orang berhak atas keutuhan pribadi, baik rohani maupun jasmani, dan karena itu tidak boleh menjadi objek penelitian tanpa persetujuan darinya.
Pasal 22
(1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Pasal 23
(1) Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya.
(2) Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.
Pasal 24
(1) Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai.
(2) Setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan partai politik, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lainnya untuk berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan penyelenggaraan negara sejalan dengan tuntutan perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 25
Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 26
(1) Setiap orang berhak memiliki, memperoleh, mengganti, atau mempertahankan status kewarganegaraannya.
(2) Setiap orang bebas memilih kewarganegaraannya dan tanpa diskriminasi berhak menikmati hak-hak yang bersumber dan melekat pada kewarganegaraannya serta wajib melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 27
*9949 (1) Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia.
(2) Setiap warga negara Indonesia berhak meninggalkan dan masuk kembali ke wilayah negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keenam Hak atas Rasa Aman
Pasal 28
(1) Setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari negara lain.
(2) Hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi mereka yang melakukan kejahatan nonpolitik atau perbuatan yang bertentangan dengan tujuan dan prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pasal 29
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya.
(2) Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada.
Pasal 30
Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
Pasal 31
(1) Tempat kediaman siapapun tidak boleh diganggu.
(2) Menginjak atau memasuki suatu pekarangan tempat kediaman atau memasuki suatu rumah bertentangan dengan kehendak orang yang mendiaminya, hanya diperbolehkan dalam hal-hal yang telah ditetapkan oleh undang-undang.
Pasal 32
Kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan surat-menyurat termasuk hubungan komunikasi melalui sarana elektronik tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 33
(1) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya.
(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa.
Pasal 34
*9950 Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan, atau dibuang secara sewenang-wenang.
Pasal 35
Setiap orang berhak hidup di dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman, dan tenteram, yang menghormati, melindungi dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
Bagian Ketujuh Hak atas Kesejahteraan
Pasal 36
(1) Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum.
(2) Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum.
(3) Hak milik mempunyai fungsi sosial.
Pasal 37
(1) Pencabutan hak milik atas suatu benda demi kepentingan umum, hanya diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan segera serta pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Apabila sesuatu benda berdasarkan ketentuan hukum demi kepentingan umum harus dimusnahkan atau tidak diberdayakan baik untuk selamanya maupun untuk sementara waktu maka hal itu dilakukan dengan mengganti kerugian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali ditentukan lain.
Pasal 38
(1) Setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak.
(2) Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil.
(3) Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding, setara atau serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama.
(4) Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya.
Pasal 39
Setiap orang berhak untuk mendirikan serikat pekerja dan tidak boleh dihambat untuk menjadi anggotanya demi melindungi dan memperjuangkan kepentingannya serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
*9951 Pasal 40
Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak.
Pasal 41
(1) Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk perkembangan pribadinya secara utuh.
(2) Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anak-anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus.
Pasal 42
Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Bagian Kedelapan Hak Turut Serta dalam Pemerintahan
Pasal 43
(1) Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
(3) Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.
Pasal 44
Setiap orang baik sendiri maupun bersama-sama berhak mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau usulan kepada pemerintah dalam rangka pelaksanaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan efisien, baik dengan lisan maupun dengan tulisan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kesembilan Hak Wanita
Pasal 45
Hak wanita dalam Undang-undang ini adalah hak asasi manusia.
Pasal 46
Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan.
Pasal 47
*9952 Seorang wanita yang menikah dengan seorang pria berkewarganegaraan asing tidak secara otomatis mengikuti status kewarganegaraan suaminya tetapi mempunyai hak untuk mempertahankan, mengganti, atau memperoleh kembali status kewarganegaraannya.
Pasal 48
Wanita berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran di semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan.
Pasal 49
(1) Wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan.
(2) Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita.
(3) Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum.
Pasal 50
Wanita yang telah dewasa dan atau telah menikah berhak untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya.
Pasal 51
(1) Seorang istri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan kehidupan perkawinannya, hubungan dengan anak-anaknya, dan hak pemilikan serta pengelolaan harta bersama.
(2) Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan anak-anaknya, dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak.
(3) Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan harta bersama tanpa mengurangi hak anak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kesepuluh Hak Anak
Pasal 52
(1) Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara.
(2) Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.
Pasal 53
*9953 (1) Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya.
(2) Setiap anak sejak kelahirannya, berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraan.
Pasal 54
Setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pasal 55
Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya di bawah bimbingan orang tua dan atau wali.
Pasal 56
(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui siapa orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
(2) Dalam hal orang tua anak tidak mampu membesarkan dan memelihara anaknya dengan baik dan sesuai dengan Undang-undang ini, maka anak tersebut boleh diasuh atau diangkat sebagai anak oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 57
(1) Setiap anak berhak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan, dan dibimbing kehidupannya oleh orang tua atau walinya sampai dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Setiap anak berhak untuk mendapatkan orang tua angkat atau wali berdasarkan putusan pengadilan apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau karena suatu sebab yang sah tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai orang tua.
(3) Orang tua angkat atau wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menjalankan kewajiban sebagai orang tua yang sesungguhnya.
Pasal 58
(1) Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut.
(2) Dalam hal orang tua, wali, atau pengasuh anak melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, dan atau pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindungi, maka harus dikenakan pemberatan hukuman.
Pasal 59
*9954 (1) Setiap anak berhak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya secara bertentangan dengan kehendak anak sendiri, kecuali jika ada alasan dan aturan hukum yang sah yang menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak.
(2) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hak anak untuk tetap bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan orang tuanya tetap dijamin oleh Undang-undang.
Pasal 60
(1) Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya.
(2) Setiap anak berhak mencari, menerima, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya demi pengembangan dirinya sepanjang sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
Pasal 61
Setiap anak berhak untuk beristirahat, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan dirinya.
Pasal 62
Setiap anak berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial secara layak, sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental spiritualnya.
Pasal 63
Setiap anak berhak untuk tidak dilibatkan di dalam peristiwa peperangan, sengketa bersenjata, kerusuhan sosial, dan peristiwa lain yang mengandung unsur kekerasan.
Pasal 64
Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial, dan mental spiritualnya.
Pasal 65
Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.
Pasal 66
(1) Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
(2) Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak.
(3) Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.
*9955 (4) Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir.
(5) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya.
(6) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku.
(7) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.
BAB IV KEWAJIBAN DASAR MANUSIA
Pasal 67
Setiap orang yang ada di wilayah negara Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis, dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia.
Pasal 68
Setiap warga negara wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 69
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika, dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas Pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukannya.
Pasal 70
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
BAB V KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH
Pasal 71
Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia.
*9956 Pasal 72
Kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain.
BAB VI PEMBATASAN DAN LARANGAN
Pasal 73
Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.
Pasal 74
Tidak satu ketentuanpun dalam Undang-undang ini boleh diartikan bahwa Pemerintah, partai, golongan atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam Undang-undang ini.
BAB VII KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
Pasal 75
Komnas HAM bertujuan:
a. mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; dan

b. meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Pasal 76
(1) Untuk mencapai tujuannya, Komnas HAM melaksanakan fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang hak asasi manusia.
(2) Komnas HAM beranggotakan tokoh masyarakat yang profesional, berdedikasi dan berintegritas tinggi, menghayati cita-cita negara hukum dan negara kesejahteraan yang berintikan keadilan, menghormati hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia.
(3) Komnas HAM berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia.
(4) Perwakilan Komnas HAM dapat didirikan di daerah.
Pasal 77
Komnas HAM berasaskan Pancasila.
Pasal 78
*9957 (1) Komnas HAM mempunyai kelengkapan yang terdiri dari: a. sidang paripurna; dan b. sub komisi.
(2) Komnas HAM mempunyai sebuah Sekretariat Jenderal sebagai unsur pelayanan.
Pasal 79
(1) Sidang Paripurna adalah pemegang kekuasaan tertinggi Komnas HAM.
(2) Sidang Paripurna terdiri dari seluruh anggota Komnas HAM.
(3) Sidang Paripurna menetapkan Peraturan Tata Tertib, Program Kerja, dan Mekanisme Kerja Komnas HAM.
Pasal 80
(1) Pelaksanaan kegiatan Komnas HAM dilakukan oleh Subkomisi.
(2) Ketentuan mengenai Subkomisi diatur dalam Peraturan Tata Tertib Komnas HAM.
Pasal 81
(1) Sekretariat Jenderal memberikan pelayanan administratif bagi pelaksanaan kegiatan Komnas HAM.
(2) Sekretariat Jenderal dipimpin oleh Sekretaris Jenderal dengan dibantu oleh unit kerja dalam bentuk biro-biro.
(3) Sekretaris Jenderal dijabat oleh seorang Pegawai Negeri yang bukan anggota Komnas HAM.
(4) Sekretaris Jenderal diusulkan oleh Sidang Paripurna dan ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(5) Kedudukan, tugas, tanggung jawab, dan susunan organisasi Sekretariat Jenderal ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Pasal 82
Ketentuan mengenai Sidang Paripurna dan Sub Komisi ditetapkan lebih lanjut dalam Peraturan Tata Tertib Komnas HAM.
Pasal 83
(1) Anggota Komnas HAM berjumlah 35 (tiga puluh lima) orang yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan usulan Komnas HAM dan diresmikan oleh Presiden selaku Kepala Negara.
(2) Komnas HAM dipimpin oleh seorang Ketua dan 2 (dua) orang Wakil Ketua.
(3) Ketua dan Wakil Ketua Komnas HAM dipilih oleh dan dari Anggota.
(4) Masa jabatan keanggotaan Komnas HAM selama 5 (lima) tahun dan setelah berakhir dapat diangkat kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
*9958 Pasal 84
Yang dapat diangkat menjadi anggota Komnas HAM adalah Warga Negara Indonesia yang:
a. memiliki pengalaman dalam upaya memajukan dan melindungi orang atau kelompok yang dilanggar hak asasi manusianya;

b. berpengalaman sebagai hakim, jaksa, polisi, pengacara, atau pengemban profesi hukum lainnya;

c. berpengalaman di bidang legislatif, eksekutif, dan lembaga tinggi negara; atau

d. merupakan tokoh agama, tokoh masyarakat, anggota lembaga swadaya masyarakat, dan kalangan perguruan tinggi.
Pasal 85
(1) Pemberhentian anggota Komnas HAM dilakukan berdasarkan keputusan Sidang Paripurna dan diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia serta ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(2) Anggota Komnas HAM berhenti antarwaktu sebagai anggota karena: a. meninggal dunia; b. atas permintaan sendiri; c. sakit jasmani atau rohani yang mengakibatkan anggota tidak dapat menjalankan tugas selama 1 (satu) tahun secara terus menerus; d. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan; atau e. melakukan perbuatan tercela dan atau hal-hal lain yang diputus oleh Sidang Paripurna karena mencemarkan martabat dan reputasi, dan atau mengurangi kemandirian dan kredibilitas Komnas HAM.
Pasal 86
Ketentuan mengenai tata cara pemilihan, pengangkatan, serta pemberhentian keanggotaan dan pimpinan Komnas HAM ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib Komnas HAM.
Pasal 87
(1) Setiap anggota Komnas HAM berkewajiban: a. menaati ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan keputusan Komnas HAM; b. berpartisipasi secara aktif dan sungguh sungguh untuk tercapainya tujuan Komnas HAM; dan c. menjaga kerahasiaan keterangan yang karena sifatnya merupakan rahasia Komnas HAM yang diperoleh berdasarkan kedudukannya sebagai anggota.
(2) Setiap Anggota Komnas HAM berhak: a. menyampaikan usulan dan pendapat kepada Sidang Paripurna dan Subkomisi; b. memberikan suara dalam pengambilan keputusan Sidang Paripurna dan Subkomisi; c. mengajukan dan memilih calon Ketua dan Wakil Ketua Komnas HAM dalam Sidang Paripurna; dan *9959 d. mengajukan bakal calon Anggota Komnas HAM dalam Sidang Paripurna untuk pergantian periodik dan antarwaktu.
Pasal 88
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban dan hak Anggota Komnas HAM serta tata cara pelaksanaannya ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib Komnas HAM.
Pasal 89
(1) Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam pengkajian dan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan:
a. pengkajian dan penelitian berbagai instrumen internasional hak asasi manusia dengan tujuan memberikan saran-saran mengenai kemungkinan aksesi dan atau ratifikasi; b. pengkajian dan penelitian berbagai peraturan perundang-undangan untuk memberikan rekomendasi mengenai pembentukan, perubahan, dan pencabutan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak asasi manusia; c. penerbitan hasil pengkajian dan penelitian; d. studi kepustakaan, studi lapangan dan studi banding di negara lain mengenai hak asasi manusia; e. pembahasan berbagai masalah yang berkaitan dengan perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia; dan f. kerjasama pengkajian dan penelitian dengan organisasi, lembaga atau pihak lainnya, baik tingkat nasional, regional, maupun internasional dalam bidang hak asasi manusia.
(2) Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam penyuluhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan:
a. penyebarluasan wawasan mengenai hak asasi manusia kepada masyarakat Indonesia; b. upaya peningkatan kesadaran masyarakat tentang hak asasi manusia melalui lembaga pendidikan formal dan non-formal serta berbagai kalangan lainnya; dan c. kerjasama dengan organisasi, lembaga atau pihak lainnya, baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional dalam bidang hak asasi manusia.
(3) Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan:
a. pengamatan pelaksanaan hak asasi manusia dan penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut; b. penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia; c. pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang diadukan untuk dimintai dan didengar keterangannya; d. pemanggilan saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya, dan kepada saksi pengadu diminta menyerahkan bukti yang diperlukan; e. peninjauan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu; f. pemanggilan terhadap pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai *9960 dengan aslinya dengan persetujuan Ketua Pengadilan; g. pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan Ketua Pengadilan; dan h. pemberian pendapat berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan, bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah publik dan acara pemeriksaan oleh pengadilan yang kemudian pendapat Komnas HAM tersebut wajib diberitahukan oleh hakim kepada para pihak.
(4) Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam mediasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan:
a. perdamaian kedua belah pihak; b. penyelesaian perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli; c. pemberian saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan; d. penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Pemerintah untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya; dan e. penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk ditindaklanjuti.
Pasal 90
(1) Setiap orang dan atau sekelompok orang yang memiliki alasan kuat bahwa hak asasinya telah dilanggar dapat mengajukan laporan dan pengaduan lisan atau tertulis pada Komnas HAM.
(2) Pengaduan hanya akan mendapatkan pelayanan apabila disertai dengan identitas pengadu yang benar dan keterangan atau bukti awal yang jelas tentang materi yang diadukan.
(3) Dalam hal pengaduan dilakukan oleh pihak lain, maka pengaduan harus disertai dengan persetujuan dari pihak yang hak asasinya dilanggar sebagai korban, kecuali untuk pelanggaran hak asasi manusia tertentu berdasarkan pertimbangan Komnas HAM.
(4) Pengaduan pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) meliputi pula pengaduan melalui perwakilan mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh kelompok masyarakat.
Pasal 91
(1) Pemeriksaan atas pengaduan kepada Komnas HAM tidak dilakukan atau dihentikan apabila:
a. tidak memiliki bukti awal yang memadai; b. materi pengaduan bukan masalah pelanggaran hak asasi manusia; c. pengaduan diajukan dengan itikad buruk atau ternyata tidak ada kesungguhan dari pengadu; d. terdapat upaya hukum yang lebih efektif bagi penyelesaian materi pengaduan; atau e. sedang berlangsung penyelesaian melalui upaya hukum yang tersedia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
*9961 (2) Mekanisme pelaksanaan kewenangan untuk tidak melakukan atau menghentikan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib Komnas HAM.
Pasal 92
(1) Dalam hal tertentu dan bila dipandang perlu, guna melindungi kepentingan dan hak asasi yang bersangkutan atau terwujudnya penyelesaian terhadap masalah yang ada, Komnas HAM dapat menetapkan untuk merahasiakan identitas pengadu, dan pemberi keterangan atau bukti lainnya serta pihak yang terkait dengan materi aduan atau pemantauan.
(2) Komnas HAM dapat menetapkan untuk merahasiakan atau membatasi penyebarluasan suatu keterangan atau bukti lain yang diperoleh Komnas HAM, yang berkaitan dengan materi pengaduan atau pemantauan.
(3) Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) didasarkan pada pertimbangan bahwa penyebarluasan keterangan atau bukti lainnya tersebut dapat:
a. membahayakan keamanan dan keselamatan negara; b. membahayakan keselamatan dan ketertiban umum; c. membahayakan keselamatan perorangan; d. mencemarkan nama baik perorangan; e. membocorkan rahasia negara atau hal-hal yang wajib dirahasiakan dalam proses pengambilan keputusan Pemerintah; f. membocorkan hal-hal yang wajib dirahasiakan dalam proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan suatu perkara pidana; g. menghambat terwujudnya penyelesaian terhadap masalah yang ada; atau h. membocorkan hal-hal yang termasuk dalam rahasia dagang.
Pasal 93
Pemeriksaan pelanggaran hak asasi manusia dilakukan secara tertutup, kecuali ditentukan lain oleh Komnas HAM.
Pasal 94
(1) Pihak pengadu, korban, saksi, dan atau pihak lainnya yang terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (3) huruf c dan d, wajib memenuhi permintaan Komnas HAM.
(2) Apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dipenuhi oleh pihak lain yang bersangkutan, maka bagi mereka berlaku ketentuan Pasal 95.
Pasal 95
Apabila seseorang yang dipanggil tidak datang menghadap atau menolak memberikan keterangannya, Komnas HAM dapat meminta bantuan Ketua Pengadilan untuk pemenuhan panggilan secara paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 96
(1) Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (4) huruf a dan b, dilakukan oleh Anggota Komnas HAM yang ditunjuk sebagai mediator.
*9962 (2) Penyelesaian yang dicapai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berupa kesepakatan secara tertulis dan ditandatangani oleh para pihak dan dikukuhkan oleh mediator.
(3) Kesepakatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) merupakan keputusan mediasi yang mengikat secara hukum dan berlaku sebagai alat bukti yang sah.
(4) Apabila keputusan mediasi tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam keputusan tersebut, maka pihak lainnya dapat memintakan kepada Pengadilan Negeri setempat agar keputusan tersebut dinyatakan dapat dilaksanakan dengan pembubuhan kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
(5) Pengadilan tidak dapat menolak permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4).
Pasal 97
Komnas HAM wajib menyampaikan laporan tahunan tentang pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya, serta kondisi hak asasi manusia, dan perkara-perkara yang ditanganinya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden dengan tembusan kepada Mahkamah Agung.
Pasal 98
Anggaran Komnas HAM dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal 99
Ketentuan dan tata cara pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang serta kegiatan Komnas HAM diatur lebih lanjut dalam Peraturan Tata Tertib Komnas HAM.
BAB VIII PARTISIPASI MASYARAKAT
Pasal 100
Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia.
Pasal 101
Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak menyampaikan laporan atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia kepada Komnas HAM atau lembaga lain yang berwenang dalam rangka perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia.
Pasal 102
Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak untuk mengajukan usulan mengenai perumusan dan kebijakan yang berkaitan dengan hak asasi manusia kepada Komnas HAM dan atau lembaga lainnya.
*9963 Pasal 103
Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, lembaga studi, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, baik secara sendiri-sendiri maupun bekerja sama dengan Komnas HAM dapat melakukan penelitian, pendidikan, dan penyebarluasan informasi mengenai hak asasi manusia.
BAB IX PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA
Pasal 104
(1) Untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan Peradilan Umum.
(2) Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan undang-undang dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun.
(3) Sebelum terbentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diadili oleh pengadilan yang berwenang.
BAB X KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 105
(1) Segala ketentuan mengenai hak asasi manusia yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur dengan Undang-undang ini.
(2) Pada saat berlakunya Undang-undang ini:
a. Komnas HAM yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dinyatakan sebagai Komnas HAM menurut Undang-undang ini; b. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komnas HAM masih tetap menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya, berdasarkan Undang-undang ini sampai ditetapkannya keanggotaan Komnas HAM yang baru; dan c. semua permasalahan yang sedang ditangani oleh Komnas HAM tetap dilanjutkan penyelesaiannya berdasarkan Undang-undang ini.
(3) Dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Undang-undang ini susunan organisasi, keanggotaan, tugas dan wewenang serta tata tertib Komnas HAM harus disesuaikan dengan Undang-undang ini.
BAB XI KETENTUAN PENUTUP
Pasal 106
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
*9964 Disahkan di Jakarta pada tanggal 23 September 1999 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 23 September 1999 MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd MULADI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 165
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA
I. UMUM Bahwa manusia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa akal budi dan nurani yang memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalani kehidupannya. Dengan akal budi dan nuraninya itu, maka manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya. Di samping itu, untuk mengimbangi kebebasan tersebut manusia memiliki kemampuan untuk bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukannya. Kebebasan dasar dan hak-hak dasar itulah yang disebut hak asasi manusia yang melekat pada manusia secara kodrati sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak ini tidak dapat diingkari. Pengingkaran terhadap hak tersebut berarti mengingkari martabat kemanusiaan. Oleh karena itu, negara, pemerintah, atau organisasi apapun mengemban kewajiban untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia pada setiap manusia tanpa kecuali. Ini berarti bahwa hak asasi manusia harus selalu menjadi titik tolak dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sejalan dengan pandangan di atas, Pancasila sebagai dasar negara mengandung pemikiran bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan menyandang dua aspek yakni, aspek individualitas (pribadi) dan aspek sosialitas (bermasyarakat). Oleh karena itu, kebebasan setiap orang dibatasi oleh hak asasi orang lain. Ini berarti bahwa setiap orang mengemban kewajiban mengakui dan menghormati hak asasi orang lain. Kewajiban ini juga berlaku bagi setiap organisasi pada tataran manapun, terutama negara dan pemerintah. Dengan demikian, negara dan pemerintah bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, membela, dan menjamin hak asasi manusia setiap warga negara dan penduduknya tanpa diskriminasi. Kewajiban menghormati hak asasi manusia tersebut, tercermin dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjiwai keseluruhan pasal dalam batang tubuhnya, terutama berkaitan dengan persamaan kedudukan *9965 warga negara dalam hukum dan pemerintahan, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, kebebasan memeluk agama dan untuk beribadat sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu, hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran. Sejarah bangsa Indonesia hingga kini mencatat berbagai penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan sosial, yang disebabkan oleh perilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar etnik, ras, warna kulit, budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin dan status sosial lainnya. Perilaku tidak adil dan diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia, baik yang bersifat vertikal (dilakukan oleh aparat negara terhadap warga negara atau sebaliknya) maupun horizontal (antarwarga negara sendiri) dan tidak sedikit yang masuk dalam kategori pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violation of human rights).
Pada kenyataannya selama lebih lima puluh tahun usia Republik Indonesia, pelaksanaan penghormatan, perlindungan, atau penegakan hak asasi manusia masih jauh dari memuaskan. Hal tersebut tercermin dari kejadian berupa penangkapan yang tidak sah, penculikan, penganiayaan, perkosaan, penghilangan paksa, bahkan pembunuhan, pembakaran rumah tinggal dan tempat ibadah, penyerangan pemuka agama beserta keluarganya. Selain itu, terjadi pula penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik dan aparat negara yang seharusnya menjadi penegak hukum, pemelihara keamanan, dan pelindung rakyat, tetapi justru mengintimidasi, menganiaya, menghilangkan paksa dan/atau menghilangkan nyawa. Untuk melaksanakan kewajiban yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh Aparatur Pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat, serta segera meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Di samping kedua sumber hukum di atas, pengaturan mengenai hak asasi manusia pada dasarnya sudah tercantum dalam berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk undang-undang yang mengesahkan berbagai konvensi internasional mengenai hak asasi manusia. Namun untuk memayungi seluruh peraturan perundang-undangan yang sudah ada, perlu dibentuk Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia.
Dasar pemikiran pembentukan Undang-undang ini adalah sebagai berikut:
a. Tuhan Yang Maha Esa adalah pencipta alam semesta dengan segala isinya; b. pada dasarnya, manusia dianugerahi jiwa, bentuk, struktur, kemampuan, kemauan serta berbagai kemudahan oleh Penciptanya, untuk menjamin kelanjutan hidupnya; c. untuk melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan martabat manusia, diperlukan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia, karena tanpa hal tersebut manusia akan kehilangan sifat dan martabatnya, sehingga dapat mendorong manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus); d. karena manusia merupakan makhluk sosial, maka hak asasi manusia yang satu dibatasi oleh hak asasi manusia yang lain, sehingga kebebasan atau hak asasi manusia bukanlah tanpa batas; *9966 e. hak asasi manusia tidak boleh dilenyapkan oleh siapapun dan dalam keadaan apapun; f. setiap hak asasi manusia mengandung kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia orang lain, sehingga di dalam hak asasi manusia terdapat kewajiban dasar; g. hak asasi manusia harus benar-benar dihormati, dilindungi, dan ditegakkan, dan untuk itu pemerintah, aparatur negara, dan pejabat publik lainnya mempunyai kewajiban dan tanggung jawab menjamin terselenggaranya penghormatan, perlindungan, dan penegakan hak asasi manusia. Dalam Undang-undang ini, pengaturan mengenai hak asasi manusia ditentukan dengan berpedoman pada Deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-hak Anak, dan berbagai instrumen internasional lain yang mengatur mengenai hak asasi manusia. Materi Undang-undang ini disesuaikan juga dengan kebutuhan hukum masyarakat dan pembangunan hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Undang-undang ini secara rinci mengatur mengenai hak untuk hidup dan hak untuk tidak dihilangkan paksa dan/atau tidak dihilangkan nyawa, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita, hak anak, dan hak atas kebebasan beragama. Selain mengatur hak asasi manusia, diatur pula mengenai kewajiban dasar, serta tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam penegakan hak asasi manusia. Di samping itu, Undang-undang ini mengatur mengenai Pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebagai lembaga mandiri yang mempunyai fungsi, tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang hak asasi manusia. Dalam Undang-undang ini, diatur pula tentang partisipasi masyarakat berupa pengaduan dan/atau gugatan atas pelanggaran hak asasi manusia, pengajuan usulan mengenai perumusan kebijakan yang berkaitan dengan hak asasi manusia kepada Komnas HAM, penelitian, pendidikan, dan penyebarluasan informasi mengenai hak asasi manusia.
Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia ini adalah merupakan payung dari seluruh peraturan perundang-undangan tentang hak asasi manusia. Oleh karena itu, pelanggaran baik langsung maupun tidak langsung atas hak asasi manusia dikenakan sanksi pidana, perdata, dan atau administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia tidak dapat dilepaskan dari manusia pribadi karena tanpa hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia yang bersangkutan kehilangan harkat dan martabat kemanusiaannya. Oleh karena itu, negara Republik Indonesia termasuk Pemerintah berkewajiban, baik secara hukum maupun secara politik, ekonomi, sosial dan moral, untuk melindungi dan memajukan serta *9967 mengambil langkah-langkah konkret demi tegaknya hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Yang dimaksud dengan “dalam keadaan apapun” termasuk keadaan perang, sengketa bersenjata, dan atau keadaan darurat. Yang dimaksud dengan “siapapun” adalah Negara, Pemerintah dan atau anggota masyarakat. Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pasal 5
Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan “kelompok masyarakat yang rentan” antara lain adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat.
Pasal 6
Ayat (1) Hak adat yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakan hak asasi manusia dalam masyarakat yang bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, identitas budaya nasional masyarakat hukum adat, hak-hak adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat, tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas negara hukum yang berintikan keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Pasal 7
Yang dimaksud dengan “upaya hukum” adalah jalan yang dapat ditempuh oleh setiap orang atau kelompok orang untuk membela dan memulihkan hak-haknya yang disediakan oleh hukum Indonesia seperti misalnya, oleh Komnas HAM atau oleh pengadilan, termasuk upaya untuk naik banding ke Pengadilan Tinggi, mengajukan kasasi dan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding. Dalam Pasal ini dimaksudkan bahwa mereka yang ingin menegakkan hak asasi manusia dan kebebasan dasarnya diwajibkan untuk menempuh semua upaya hukum tersebut pada tingkat nasional terlebih dahulu (exhaustion of local remedies) sebelum menggunakan forum baik di tingkat regional maupun internasional, kecuali bila tidak mendapatkan tanggapan dari forum hukum nasional.
Pasal 8
Yang dimaksud dengan “perlindungan” adalah termasuk pembelaan hak asasi manusia.
Pasal 9
Ayat (1) *9968 Setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan kehidupan, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Hak atas kehidupan ini bahkan juga melekat pada bayi yang belum lahir atau orang yang terpidana mati. Dalam hal atau keadaan yang sangat luar biasa yaitu demi kepentingan hidup ibunya dalam kasus aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal dan atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan. Hanya pada dua hal tersebut itulah hak untuk hidup dapat dibatasi. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1) Yang dimaksud dengan “perkawinan yang sah” adalah perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “kehendak bebas” adalah kehendak yang lahir dari niat yang suci tanpa paksaan, penipuan, atau tekanan apapun dan dari siapapun terhadap calon suami dan atau calon isteri.
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1) Yang dimaksud dengan “seluruh harta kekayaan milik yang bersalah” adalah harta yang bukan berasal dari pelanggaran atau kejahatan. Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
*9969 Pasal 21 Yang dimaksud dengan “menjadi objek penelitian” adalah kegiatan menempatkan seseorang sebagai pihak yang dimintai komentar, pendapat atau keterangan yang menyangkut kehidupan pribadi dan data-data pribadinya serta direkam gambar dan suaranya.
Pasal 22
Ayat (1) Yang dimaksud dengan “hak untuk bebas memeluk agamanya dan kepercayaannya” adalah hak setiap orang untuk beragama menurut keyakinannya sendiri, tanpa adanya paksaan dari siapapun juga. Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang menentukan suatu perbuatan termasuk kejahatan politik atau nonpolitik adalah negara yang menerima pencari suaka.
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Ayat (1) Yang dimaksud dengan “tidak boleh diganggu” adalah hak yang berkaitan dengan kehidupan pribadi (privacy) di dalam tempat kediamannya. Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan “penghilangan paksa” dalam ayat ini adalah tindakan yang dilakukan oleh siapapun yang menyebabkan seseorang tidak diketahui keberadaan dan keadaannya. *9970 Sedangkan yang dimaksud dengan “penghilangan nyawa” adalah pembunuhan yang dilakukan sewenang-wenang tidak berdasarkan putusan pengadilan.
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan “hak milik mempunyai fungsi sosial” adalah bahwa setiap penggunaan hak milik harus memperhatikan kepentingan umum. Apabila kepentingan umum menghendaki atau membutuhkan benar-benar maka hak milik dapat dicabut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Yang dimaksud dengan “tidak boleh dihambat” adalah bahwa setiap orang atau pekerja tidak dapat dipaksa untuk menjadi anggota atau untuk tidak menjadi anggota dari suatu serikat pekerja.
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Ayat (1) Yang dimaksud dengan “berhak atas jaminan sosial” adalah bahwa setiap warga negara mendapat jaminan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kemampuan negara. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “kemudahan dan perlakuan khusus” adalah pemberian pelayanan, jasa, atau penyediaan fasilitas dan sarana demi kelancaran, keamanan, kesehatan, dan keselamatan.
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
*9971 Yang dimaksud dengan “keterwakilan wanita” adalah pemberian kesempatan dan kedudukan yang sama bagi wanita untuk melaksanakan peranannya dalam bidang eksekutif, yudikatif, legislatif, kepartaian, dan pemilihan umum menuju keadilan dan kesetaraan jender.
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan “perlindungan khusus terhadap fungsi reproduksi” adalah pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan haid, hamil, melahirkan, dan pemberian kesempatan untuk menyusui anak. Ayat (3) Cukup jelas
Pasal 50
Yang dimaksud dengan “melakukan perbuatan hukum sendiri” adalah cakap menurut hukum untuk melakukan perbuatan hukum, dan bagi wanita beragama Islam yang sudah dewasa, untuk menikah diwajibkan menggunakan wali.
Pasal 51
Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan “tanggung jawab yang sama” adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada kedua orang tua dalam hal pendidikan, biaya hidup, kasih sayang, serta pembinaan masa depan yang baik bagi anak. Yang dimaksud dengan “Kepentingan terbaik bagi anak” adalah sesuai dengan hak anak sebagaimana tercantum dalam Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on The Rights of The Child (Konvensi tentang Hak Anak). Ayat (3) Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan “suatu nama” adalah nama sendiri, dan nama orang tua kandung, dan atau nama keluarga, dan atau nama marga.
Pasal 54
Pelaksanaan hak anak yang cacat fisik dan atau mental atas biaya negara diutamakan bagi kalangan yang tidak mampu.
Pasal 55
*9972 Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Pasal ini berkaitan dengan perceraian orang tua anak, atau dalam hal kematian salah seorang dari orang tuanya, atau dalam hal kuasa asuh orang tua dicabut, atau bila anak disiksa atau tidak dilindungi atau ketidakmampuan orang tuanya.
Pasal 60
Ayat (1) Pendidikan dalam ayat ini mencakup pendidikan tata krama dan budi pekerti. Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya mencakup kegiatan produksi, peredaran, dan perdagangan sampai dengan penggunaannya yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 66
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Cukup jelas
*9973 Pasal 72 Cukup jelas
Pasal 73
Pembatasan yang dimaksud dalam Pasal ini tidak berlaku terhadap hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi (non-derogable rights) dengan memperhatikan Penjelasan Pasal 4 dan Pasal 9. Yang dimaksud dengan “kepentingan bangsa” adalah untuk keutuhan bangsa dan bukan merupakan kepentingan penguasa.
Pasal 74
Ketentuan dalam Pasal ini menegaskan bahwa siapapun tidak dibenarkan mengambil keuntungan sepihak dan atau mendatangkan kerugian pihak lain dalam mengartikan ketentuan dalam Undang-undang ini, sehingga mengakibatkan berkurangnya dan atau hapusnya hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-undang ini.
Pasal 75
Cukup jelas
Pasal 76
Cukup jelas
Pasal 77
Cukup jelas
Pasal 78
Cukup jelas
Pasal 79
Cukup jelas
Pasal 80
Cukup jelas
Pasal 81
Cukup jelas
Pasal 82
Cukup jelas
Pasal 83
Ayat (1) Yang dimaksud dengan “diresmikan oleh Presiden” adalah dalam bentuk Keputusan Presiden. Peresmian oleh Presiden dikaitkan dengan kemandirian Komnas HAM. Usulan Komnas HAM yang dimaksud, harus menampung seluruh aspirasi dari berbagai lapisan masyarakat sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan, yang jumlahnya paling banyak 70 (tujuh puluh) orang. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas
Pasal 84
Cukup jelas
*9974 Pasal 85 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Keputusan tentang pemberhentian dilakukan dengan pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang bersangkutan dan diberikan hak untuk membela diri dalam Sidang Paripurna yang diadakan khusus untuk itu.
Pasal 86
Cukup jelas
Pasal 87
Cukup jelas
Pasal 88
Cukup jelas
Pasal 89
Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Huruf a Cukup jelas Huruf b Yang dimaksud dengan “penyelidikan dan pemeriksaan” dalam rangka pemantauan adalah kegiatan pencarian data, informasi, dan fakta untuk mengetahui ada atau tidaknya pelanggaran hak asasi manusia. Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Huruf f Cukup jelas Huruf g Cukup jelas Huruf h Yang dimaksud dengan “pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah publik” antara lain mengenai pertanahan, ketenagakerjaan, dan lingkungan hidup. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas Huruf b Yang dimaksud dengan “mediasi” adalah penyelesaian perkara perdata di luar pengadilan, atas dasar *9975 kesepakatan para pihak. Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas
Pasal 90
Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Yang dimaksud dengan “pengaduan melalui perwakilan” adalah pengaduan yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok untuk bertindak mewakili masyarakat tertentu yang dilanggar hak asasinya dan atau atas dasar kesamaan kepentingan hukumnya.
Pasal 91
Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Yang dimaksud dengan “itikad buruk” adalah perbuatan yang mengandung maksud dan tujuan yang tidak baik, misalnya pengaduan yang disertai data palsu atau keterangan tidak benar, dan atau ditujukan semata-mata untuk mengakibatkan pencemaran nama baik perorangan, keresahan kelompok, dan atau masyarakat. Yang dimaksud dengan “tidak ada kesungguhan” adalah bahwa pengadu benar-benar tidak bermaksud menyelesaikan sengketanya, misalnya pengadu telah 3 (tiga) kali dipanggil tidak datang tanpa alasan yang sah. Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 92
Cukup jelas
Pasal 93
Cukup jelas
Pasal 94
Cukup jelas
Pasal 95
Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang-undangan” dalam Pasal ini adalah ketentuan Pasal 140 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 141 ayat (1) Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB) atau Pasal 167 ayat (1) Reglemen Luar Jawa dan Madura.
*9976 Pasal 96 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Lembar keputusan asli atau salinan otentik keputusan mediasi diserahkan dan didaftarkan oleh mediator kepada Panitera Pengadilan Negeri. Ayat (4) Permintaan terhadap keputusan yang dapat dilaksanakan (fiat eksekusi) kepada Pengadilan Negeri dilakukan melalui Komnas HAM. Apabila pihak yang bersangkutan tetap tidak melaksanakan keputusan yang telah dinyatakan dapat dilaksanakan oleh pengadilan, maka pengadilan wajib melaksanakan keputusan tersebut. Terhadap pihak ketiga yang merasa dirugikan oleh keputusan ini, maka pihak ketiga tersebut masih dimungkinkan mengajukan gugatan melalui pengadilan. Ayat (5) Cukup jelas
Pasal 97
Cukup jelas
Pasal 98
Cukup jelas
Pasal 99
Cukup jelas
Pasal 100
Cukup jelas
Pasal 101
Cukup jelas
Pasal 102
Cukup jelas
Pasal 103
Cukup jelas
Pasal 104
Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pelanggaran hak asasi manusia yang berat” adalah pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination). Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan “pengadilan yang berwenang” meliputi empat lingkungan peradilan sesuai dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999.
*9977 Pasal 105 Cukup jelas
Pasal 106
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3886

0 komentar:

Posting Komentar

azu-jirazu.blogspot.com. Diberdayakan oleh Blogger.